"Five days shalt thou labour,as the Bible says.The seventh day is the Lord thy God's.The sixth day is for football."
(Anthony Burgess)
Ketika Tuhan menciptakan Piala Dunia, Dia tidak sengaja meninggalkan tangan-Nya pada Diego Maradona (1986). Dan ketika Dia mengambil tangan tersebut, ia justru meninggalkan sepasang kaki lincah-Nya sehingga dua menit kemudian, pria mungil dari Argentina itu berlari dengan cepat, melewati enam orang Inggris, lalu menendang! Inilah saat di mana Tuhan selalu turun ke bumi tiap empat tahun sekali.
Pada mulanya Tuhan merancang Piala Dunia sebagai turnamen yang di dalamnya terdapat proses perebutan harga diri, martabat, serta nama baik seseorang, suatu tim, dan bahkan sebuah bangsa. Arogansi dan ambisi adalah bahan utama yang Dia tambahkan ke dalam resep-Nya. Hasilnya: The Battle of Santiago (1962). Sebuah pertandingan yang oleh seorang wartawan Inggris disebut sebagai “the most stupid, appaling, disgusting and disgraceful exhibition of football, possibly in the history of the game.” Italia bertemu Cile, dua pemain diusir keluar (satu diantaranya harus diseret oleh polisi), hidung-hidung patah, saling sikut setiap saat, satu pukulan di wajah, satu tendangan tepat di wajah, saling meludah, polisi masuk ke lapangan tiga kali dan semuanya dimulai dari 12 detik sejak peluit pertandingan ditiup. Arogansi kembali mengambil peran ketika Alf Ramsey (1966), pelatih Inggris, turun ke lapangan saat pertandingan berakhir lalu melarang keras anak asuhnya untuk bertukar kaus dengan pemain Argentina dan menyebut mereka sebagai “animals!” Kemudian kesebelasan Jerman Barat (1938) yang memberikan salam Nazi sebelum pertandingan dimulai yang diiringi oleh cemoohan, siulan, dan caci-maki ribuan penonton di Prancis. Belum lagi dengan martabat seorang pangeran Kuwait yang begitu tinggi sehingga ia memaksa wasit untuk menghentikan pertandingan antara negaranya dengan Prancis (1982) karena ia tidak puas dengan hasil di lapangan. Saat itu dengan marah ia meminta wasit untuk tidak mensahkan gol keempat Prancis dan setelah beberapa menit, dengan penuh hormat akhirnya wasit menuruti mandat sang pangeran. Tuhan berpikir bahwa harus ada yang ditambahkan dalam Piala Dunia.
Lalu pada percobaan kedua, Dia menambahkan hal yang lebih sentimental untuk meredam emosi Piala Dunia: air mata. Misi ini berhasil saat dunia merekam bagaimana seorang Pele muda (1958) yang masih berusia 17 tahun, menangis dengan emosional setelah mencetak dua gol ke gawang Swedia dan memberikan gelar juara dunia pertama bagi Brazil. Penonton mengaraknya, menyebut-nyebut namanya, mengantarkannya untuk berhadapan dengan kemilau trofi Jules Rimet. Pele tidak bisa berhenti menangis. Tapi kemudian semuanya tidak berjalan sesuai rencana. Tuhan ada di sana ketika dua pemain Uruguay Juan Schiaffino dan Alcides Ghiggia menjebol gawang Brazil (1950) di hadapan 200.000 orang di stadion Maracana yang kemudian bereaksi dengan serentak terdiam lalu meratap. Kesunyian seperti itu menusuk-nusuk telinga Tuhan dengan kejam. Lalu Tuhan sedang duduk bersama jutaan orang Inggris ketika si bengal Paul Gascoigne (1990) mendapatkan kartu kuning dan menitikkan air matanya. Tuhan berpikir bagaimana seorang temperamen seperti Gazza mampu menyampaikan pesan melankolis dengan frekuensi yang besar kepada rakyatnya yang dengan simbolik menyatakan tidak ada piala dunia bagi Inggris. Dan yang paling menyentuh adalah ketika salah satu anak kesayangan-Nya, Roberto Baggio (1994) menendang terlalu jauh ke atas mistar gawang dan harus tertunduk lesu dengan memperlihatkan kuncir belakangnya kepada seantero dunia. Tuhan kembali membenahi rancangan-Nya.
Maradona's Hand of God, 1986
The Battle of Santiago, 1962
Lalu pada percobaan kedua, Dia menambahkan hal yang lebih sentimental untuk meredam emosi Piala Dunia: air mata. Misi ini berhasil saat dunia merekam bagaimana seorang Pele muda (1958) yang masih berusia 17 tahun, menangis dengan emosional setelah mencetak dua gol ke gawang Swedia dan memberikan gelar juara dunia pertama bagi Brazil. Penonton mengaraknya, menyebut-nyebut namanya, mengantarkannya untuk berhadapan dengan kemilau trofi Jules Rimet. Pele tidak bisa berhenti menangis. Tapi kemudian semuanya tidak berjalan sesuai rencana. Tuhan ada di sana ketika dua pemain Uruguay Juan Schiaffino dan Alcides Ghiggia menjebol gawang Brazil (1950) di hadapan 200.000 orang di stadion Maracana yang kemudian bereaksi dengan serentak terdiam lalu meratap. Kesunyian seperti itu menusuk-nusuk telinga Tuhan dengan kejam. Lalu Tuhan sedang duduk bersama jutaan orang Inggris ketika si bengal Paul Gascoigne (1990) mendapatkan kartu kuning dan menitikkan air matanya. Tuhan berpikir bagaimana seorang temperamen seperti Gazza mampu menyampaikan pesan melankolis dengan frekuensi yang besar kepada rakyatnya yang dengan simbolik menyatakan tidak ada piala dunia bagi Inggris. Dan yang paling menyentuh adalah ketika salah satu anak kesayangan-Nya, Roberto Baggio (1994) menendang terlalu jauh ke atas mistar gawang dan harus tertunduk lesu dengan memperlihatkan kuncir belakangnya kepada seantero dunia. Tuhan kembali membenahi rancangan-Nya.
Gazza's Tear, 1990
Roberto Baggio failed in penalty-shootout, 1994
Frank Rijkaard spit at Rudi Voeller, 1990
Zidane's Sister Incident, 2006
Andres Escobar Made An Own Goal, 1994
Pak Doo-Ik Scored A Goal Against Italy, 1966
Belum selesai dengan itu semua, Tuhan pun ikut bermain sepak bola. Saat Maradona dan kiper Peter Shilton dari Inggris sama-sama meloncat untuk menerjang bola, saat itulah Tuhan muncul dari tangan Maradona. Dua menit kemudian ia memberikan Maradona solo run yang akan terus dikenang sepanjang masa. Dia juga memberikan solo run kepada Michael Owen (1998) untuk menjebol gawang Argentina lalu kepada Saeed Al-Owairan dari Arab Saudi (1994) untuk mempermainkan pemain Belgia. Selain membuat gol, Dia juga menghentikannya. Ketika Pele menyundul bola dengan keras (1970) dengan kekuatan 99% gol, Tuhan menjadi Gordon Banks, kiper Inggris, yang entah bagaimana caranya mampu menghadang bola tersebut. Bahkan Pele, dan para penonton, terdiam beberapa saat untuk meyakinkan diri terhadap apa yang baru saja terjadi. Tuhan bahkan membiarkan setiap manusia berdebat untuk menentukan apakah tendangan Geoff Hurst dari Inggris ke gawang Jerman (1996) yang memantul dari mistar gawang telah melewati garis atau belum. Is it a goal or is it not? Di lapangan sepakbola Dia juga merekonstruksi kondisi dunia yang diciptakan-Nya. Di lapangan hijau, Jerman Timur menaklukkan Jerman Barat (1974) dan Jurgen Sparwasser, sang penentu kemenangan, seketika menjadi pahlwan bagi Sosialisme. Kemudian Iran yang mengalahkan seteru politik abadinya Amerika Serikat (1998) lewat pertandingan yang sarat dengan ketegangan.
Gordon Banks's Save, 1970
Tidak diragukan lagi bahwa kemunculan-Nya di tengah lapangan mengundang decak kagum. Sebuah pemandangan visual yang selalu mencengangkan. Lewat Johan Cruyff (1974), Dia mengajarkan bagaimana caranya berputar untuk melepaskan diri dari hadangan lawan. Ketenangan Bobby Moore dari Inggris (1970) saat menghentikan bola serta gerakan kaki Pele yang menggocek kesana-kemari dengan lincah. Kemudian tendangan gunting voli Negrete dari Meksiko (1986) yang menghujam gawang lawan dan meninggalkan penonton di stadion Azteca dalam kekaguman. Atau gocekan waltz Archie Gemmill dari Skotlandia (1978) yang memberi pelajaran pada barisan pertahanan tim Belanda. Perhatikan juga bagaimana tendangan bebas Ronaldinho (2002) yang melambung tinggi berakhir di jala gawang Inggris dengan tukikan yang sempurna.
Johan Cruyff 's Turn, 1974
Kemudian Tuhan berpikir tentang fashion. Dia meraih guntingnya lalu memberikan nilai tersendiri pada penampilan rambut sebagai nilai tambah Piala Dunia. Rambut gimbal Ruud Gullit (1990), Rambut oranye terang nan megah milik Carlos Valderrama (1990), rambut dreadlock Henrik Larsson (1994), rambut berantakan serta jenggot dan kumis khas filsuf zaman pertengahan milik Alexi Lalas (1994), rambut kesebelasan Rumania yang semuanya dicat pirang (1998), Rambut gondrong ala Gabriel Batistuta (1994) dan Carlos Puyol (2006), headband Claudio Caniggia (1990), dan rambut Mohawk David Beckham dan Christian Ziege (2002). Semuanya memberikan inspirasi baru bagi para penata rambut. Namun potongan konyol Chris Waddle (1990), Taribo West (1998) dan Ronaldo (2002) cukup memberikan waktu untuk tertawa lepas.
Ronaldo's Haircut, 2002
Roger Milla's Dance, 1990
Tuhan melihat kalendernya dan sekarang telah masuk ke tahun 2010. Saatnya buat Tuhan untuk kembali turun ke bumi dan berkemas menuju tanah Afrika. Saatnya drama baru dimulai. Saatnya peluit ditiupkan. Priiiiitttt!!!!
Pele's Goal Celebration, 1970
So, what will happen next after the kick-off?
kalo di blogspot ada option like kaya di tumblr, aku mau nglike postingan ini. kamu selalu bisa membuat yang biasa menjadi wow dengan narasi yang indah. thank you for this knowledge..
BalasHapus:) I'm flattered
BalasHapusgila, ini isinya simple, tapi bisa dibikin sedahsyat ini..parah maneh gan
BalasHapushaha... Saya selalu ingin memahami Piala Dunia seperti yang saya tulis di atas. A sort of holy event that the world celebrates, altogether.
BalasHapussebenarnya anda adalah pemain drama yang memainkan drama dengan tulisan. Sangat menarik, tidak membuat mata saya berpaling pada yg lain sampai saya selesai membacanya.
BalasHapusvery nice
nice terms, "pemain drama yang memainkan drama dengan tulisan", how did you get it?
BalasHapusbro, bikin tulisan yg lokal dong, tentang persib kek, Bandung, kampus, naon we..jigana menarik :D
BalasHapusvery good writing, meskipun saya gak terlalu suka bola.
BalasHapusbtw, saya udah baca semua tulisan anda (termasuk cerpen), really inspiring, sumpah. (saya tau Banksy aja dari ini blog).
Cerpen yang paling saya suka adalah 'Janin'.
Oh ya, btw, saya link ya blognyaa.
Terima kasih 'mi, semoga kita bisa saling berbagi inspirasi
BalasHapusDan Tuhan datang ke bumi untuk mewariskan kemampuan menulisnya pada penulis blog ini
BalasHapusTerima kasih banyak atas aspirasinya, terima kasih banyak siapapun kau di sana
BalasHapus