"A film is never really good,
unless the camera is an eye
in the head of a poet."
(Orson Welles)
Coba acungkan tangan bagi siapapun yang ketika film Petualangan Sherina atau Ada Apa Dengan Cinta? muncul lalu meyakinkan diri dengan berkata ‘inilah momen kebangkitan film Indonesia’ dan tidak pernah berhenti pergi ke bioskop setelahnya. Ya, ya banyak sekali yang berpikiran seperti demikian bahkan saya juga ikut mengacungkan tangan. Sekarang acungkan tangan lagi bagi siapapun yang merasa bahwa mengacungkan tangan untuk pertanyaan pertama tadi adalah sebuah kesalahan. Oke, kita semua mengacungkan tangan lagi —Selamat, kita baru saja merayakan sebuah ironi. Plok plok!
Mari sejenak melihat ke belakang, tidak terlalu jauh ke belakang, tidak perlu menoleh sampai menyakiti leher, cukup menggerakkan kedua bola mata saja. Di sana kita semua mengacung untuk pertama kalinya. Optimistis. Rasa bangga. Sebuah dahaga yang akhirnya dipertemukan dengan sebuah oasis yang jernih. Sebuah sinar terang proyektor yang muncul dari ufuk timur lembah sinema nasional yang selama ini ditutupi oleh tirai bioskop yang usang dan bau apak. Film Indonesia akhirnya membuka mata dari mati suri panjangnya, menatap para sineas generasi baru yang dilahirkan oleh zaman, dan kita duduk di kursi bernomor menonton ‘si anak hilang’ memperkenalkan dirinya yang baru. Sampai popcorn di pangkuan habis tak bersisa, lampu bioskop kembali menyala, lalu pintu keluar dibuka dan kita berjalan pergi dengan kesan di muka, saat itulah kita dihujani oleh euforia.
Maka tak heran bila akhirnya sebagian besar orang meyakini jargon kebangkitan film nasional sebagai sebuah titik cerah, harapan, penantian yang dihayati secara serius bersama-sama. Setelah beberapa lama gudang ide kehabisan stok, industri bioskop sekarat dalam ketidakpastian, ditambah dengan keadaan sosial-politik-ekonomi bangsa yang sepertinya begitu menggemaskan, tiba-tiba ada sekelompok orang yang kembali membuat film, sekelompok orang yang mengantri di loket, dan sekelompok orang yang berakting di layar dengan suara yang menggelegar yang serta merta mengisyaratkan sebuah ‘kelahiran’, kemunculan yang patut dirayakan seperti kemunculan seorang Romeo di bawah balkon Juliet yang telah lama menunggu. Sampai akhirnya disadari atau tidak, film nasional seperti hendak mengadopsi ketragisan dari kisah cinta klasik tersebut, atau setidaknya bisa dikatakan sedang mengarah ke sana. Sekali lagi.
Mengapa banyak yang mengacungkan tangan untuk menanggapi pernyataan yang berkontradiksi dengan pernyataan yang pertama tadi adalah sebuah bukti terhadap suatu gejala. Penyesalan? Bisa jadi. Kemunafikan? Mungkin tidak juga. Lalu? Bagaimana kalau menyebutnya sebagai sebuah kepercayaan yang telah dikhianati. Ya, untuk itulah kita mengacungkan tangan sekali lagi. Dengan rasa kecewa, putus asa, sia-sia, berat hati, malu, kesal, marah, sedih, pasrah, geram, miris, gerah, jenuh, yang kesemuanya dilahirkan dari janin pengkhianatan. Dan kemudian sebuah pertanyaan pamungkas terlontar: Siapa yang salah?
Atau mungkin apanya yang salah?
Film nasional bila ditilik dari keseluruhan perangkat teknis yang membentuknya dari mulai sinematografi, pencahayaan, kualitas suara, kualitas gambar dan editing memang masih relevan untuk dinyatakan sebagai bukti kebangkitan dunia perfilman Indonesia. Para awak sineas dalam negeri telah berhasil ‘mencuri’ buku panduan sinema dari para ‘dewa-dewa’ yang bersemayam di puncak gunung Hollywood. Betapa mereka telah berhasil menyerap pelajaran dari tiap lembarnya walaupun mereka melewatkan bab mengenai special effects dan film animasi tapi setidaknya mereka telah mampu mengasah dan mempraktekkan ilmu yang didapat dengan baik. Pada awalnya mungkin inilah barisan terdepan dari decak kagum yang tumbuh kembang di bola mata para penonton. Maka mari kita sebut saja bahwa masalah teknis dari film Indonesia bukanlah hal yang bisa dilabeli sebagai sang biang kerok, hanya ada nasihat klise untuk hal ini yaitu ‘tingkatkan kemampuan dan giatlah belajar’ yang dengan kata lain dapat diartikan sebagai semuanya baik-baik saja. Sampai di sini setidaknya harus diakui bahwa ini melegakan, persis seperti hutang yang berhasil terbayar, melegakan.
Yang menjadi duri pengganggu adalah ketika warna dan karakter film nasional terjebak dalam kemonotonan, stagnasi, terkorupsi maknanya sebagai media seni dan informasi, tergadaikan esensinya lewat harga tiket dan statistik pendapatan, terlalu nyaman dalam zona banalitas yang semata-mata menghibur namun kehilangan peran sebagai agen perubahan massal/populer yang dapat menyentuh masyarakat lewat bahasanya yang universal, kehilangan bentuknya sebagai sebuah karya seni yang dipahat oleh ide dan pemilkiran, terlupakan fungsinya sebagai kamera yang khusus memotret kehidupan, peradaban, dan kemanusiaan, kehilangan sentuhan artistiknya, dan yang terutama adalah cacat inspirasi. Masalah utama tidak lain tidak bukan adalah gudang ide yang telah dipenuhi oleh sarang laba-laba dan hanya berisi tumpukan benda-benda usang yang terkubur debu. Ya, kematian ide, bahan bakar utama dari sebuah film, dari seorang manusia, dan dari segala hal mengenai kehidupan.
Bioskop memang tidak kehilangan penontonnya tapi film nasional telah dibotaki oleh mesin cukur bermerek profit. Hasilnya adalah yang pertama, kemonotonan. Betapa semua hal telah diseragamkan. Miskin inovasi. Film Indonesia tidak berkembang karena terus berputar di orbit yang sama mengelilingi para penonton di bioskop. Kalaupun ada yang bisa disebut inovasi adalah kelihaian dan kreatifitas para sineas dalam menciptakan sosok mahluk halus baru lengkap dengan sebutannya yang memadukan unsur merinding dan kekonyolan (Suster Ngesot? Hostes Bunting?). Film remaja dan film drama hanya dipenuhi oleh hal-hal pragmatis, superfisial, klise, dan artifisial semacam tema mengejar mimpi, kasih tak sampai, pergaulan bebas, cinta segitiga, cinta pada pandangan pertama, cinta diam-diam, cinta monyet, cinta terlarang, cinta itu indah, cinta itu buta, cinta itu bikin gila, dan cinta itu hanya remaja yang tahu. Film religi? Entah kenapa saya kebingungan dengan label ‘religi’-nya. Apanya? Bagaimana? Di sebelah mana? Film religi selalu diisi dengan cerita-cerita yang praktis dan cenderung memaparkan jawaban-jawaban atau pernyataan tak tersirat yang sifatnya langsung jadi, seperti menerjemahkan ayat kitab suci begitu saja tanpa mengkaji lebih dalam lagi. Tak ada inspirasi yang dihasilkan yang justru membuat penonton bertanya dan bereaksi dengan mencari makna religi atau ketuhanan dengan lebih terarah. Kebanyakan film religi hanyalah film yang diisi oleh bahasa serta nuansa ke-Arab-arab-an —tidak lebih tidak kurang— dan memang hanya di permukaan itulah sisi religinya, seolah-olah hanya dengan berkata Assalamualaikum, Alhamdulillah, dan Allahu Akbar di sepanjang film maka kita telah disuguhi oleh tontonan religi yang berkualitas dan tentu saja, halal. Film Action atau film laga memperlihatkan ke-macho-an atau kejantanan kaum Adam lewat sifat gampang marah, gampang mendidih, gampang main hakim sendiri, gampang mencari masalah, dan tentu saja mulutnya berisi sastra kata-kata kasar.
Tapi memang apanya yang salah? Kenapa saya harus mengkritik ini segala? Film diciptakan dari dan untuk masyarakat sebagai cermin dari kisah manusia di dalam kehidupan ini. Kalau memang masyarakat Indonesia mewakili gambaran serta landasan ide di atas kenapa harus protes? Justru inilah fungsi film, sebagai potret dari lingkungan sekitar.
Ya, film nasional adalah kita. Kemonotonan itu jugalah milik kita. Jadi mengaku sajalah. Bahwa kita berada dalam masyarakat yang kehilangan greget-nya dalam berinovasi, memunculkan gagasan segar, mengedepankan keunikan, menghamba pada kreatifitas dan karya, serta merindukan perubahan.
Bukankah kita adalah masyarakat yang hidup dalam atmosfer klenik yang begitu kental? Jadi apa salahnya kalau kita memberikan penghormatan kepada para mahkluk halus, roh-roh gentayangan, jin dan setan. Ya, kita tidak peduli dengan bagaimana negara maju membentuk peradaban dengan teknologi dan pendidikan karena kita masih akan bersujud di bawah pohon beringin tua, menyiapkan sesajen, mencium aroma menyan, dan mengkeramatkan keris pusaka. Kita telah mendapatkan wawasan dari film-film horor nasional tentang paku kuntilanak, tali pocong, kain kafan perawan, dan sebagainya sehingga kita telah selangkah lebih maju daripada orang-orang barat yang tentunya tidak tahu apa-apa mengenai hal yang satu ini.
Film cinta? Oh apa yang salah? Bukankah kehidupan kita memang dipenuhi oleh rasa cinta yang selalu bersemi? Semuanya tercermin dari perilaku anak muda, para remaja, generasi penerus dan harapan bangsa ini, betapa mereka telah belajar mengenai cinta dari sejak dini. Kita tidak memiliki kisah tentang gerakan para pemuda seperti yang terjadi di tahun 60-an tentang flower generations yang menentang perang Vietnam dan mengusung slogan cinta dan perdamaian dunia, tidak, tidak sejauh itu, terlalu buang-buang waktu. Tidak ada juga kisah pemuda di akhir 70-an di mana lewat kereta bernama Punk mereka melaju dengan protes dan kekecewaan terhadap perbedaan kelas sosial serta sistem pemerintahan yang tidak adil dan mereka menyalurkannya lewat musik dan ideologi baru, hmm tidak juga, sangat nihilis dan penuh pemberontakan. Atau gerakan aliran Beatnik di sekitar 50-an yang merubah wajah dunia sastra dengan melepas unsur formalitasnya dalam gaya bahasa dan bertutur cerita, sama sekali tidak, sastra, novel, buku, cuma hiburan buat orang-orang yang kurang bergaul. Para pemuda di luar sana terlalu sibuk memikirkan hal yang tidak penting sedangkan kita lebih suka memikirkan cinta. Seperti status di Facebook, panggilan sayang, rencana malam Minggu, uji kesetiaan, uji komitmen, candle light dinner, kejutan di hari ulang tahun, peringatan hari jadi sampai memanfaatkan kesempatan dalam kesempitan. Betapa nikmatnya menghabiskan seluruh masa muda untuk menjalani cinta. Biarlah semua masalah, drama kehidupan ini selalu diisi seputar masalah cinta, semuanya, dan biarkan yang lain jadi masalah orang lain, atau bangsa lain untuk memecahkannya. Jatuh cinta melulu memang benar-benar indah. Mmmmuuuaahhhh….!!!!
Lalu kita lihat film religi. Sebuah genre baru yang diciptakan dengan tujuan untuk menciptakan tontonan yang menjadi tuntunan bagi masyarakat Indonesia. Sebuah jawaban dari film Indonesia yang mulai dirasa terlalu banyak yang disensor. Oke, kalau masalahnya untuk menanggulangi sensor tentu saja film religi lulus ujian. Tapi bagaimana dengan isinya yang entah kenapa justru seperti menampilkan filosofi religiusitas yang kering yang hanya melibatkan diri pada proses penyerahan diri yang dilengkapi dengan pagar yang kokoh antara dosa dan pahala. Film religi ataukah film penghakiman? Tapi sekali lagi, apa yang salah? Penonton kita menyukainya. Penonton kita adalah orang-orang taat yang selalu berserah diri kepada Tuhan. Menyerahkan semua masalah pada Tuhan, masalah ekonomi, masalah pendidikan, masalah kemiskinan, masalah politik, masalah sosial, masalah nasib, masalah takdir, masalah masa depan, pokoknya semua masalah biarlah Tuhan yang menyelesaikan. Karena kita adalah orang-orang yang sangat beriman, sangat percaya pada Tuhan. Semua masalah pasti bisa diselesaikan-Nya, tinggal berdo’a pada yang di atas setelah itu tunggu saja. Tunggu beberapa waktu. Tunggu sampai mati. Tunggu selamanya. Dari film religi kita diberikan kemampuan untuk melihat siapa orang yang berdosa siapa yang tidak. Bayangkan kemampuan kita untuk bisa meramalkan siapa yang nanti bakal masuk surga atau neraka. Mana ada orang dari negara lain bisa melakukan hal ini. Orang-orang dari negara lain justru harus dikasihani karena mereka bodoh, banyak bertanya tentang agama. Kita telah mendapat agama dari sejak lahir —sebuah anugerah yang indah— kita hanya tinggal menjalaninya saja, patuh terhadap semua aturannya, kalau tidak, itu namanya dosa. Kenapa harus repot-repot mempertanyakannya segala, menjalani proses panjang untuk mencari kebenaran, berpikir keras sampai gila, atau berusaha memahami konsep ketuhanan? Kita sudah punya agama turun-temurun, tinggal ikutin aja, kalo engga ya dosa, dan agama kitalah yang paling bener, yang lain silahkan ke neraka aja!
Film action? Wah ini jagoan kita. Kita adalah masyarakat terhormat yang tidak suka diganggu atau dilecehkan. Bila pemerintah dengan seenaknya menaikkan harga minyak, bensin, atau pajak, kita akan turun ke jalan, berdemo, membakar ban, membakar foto presiden, berteriak sampai serak, sampai gunung Merapi tersulut untuk meledak, mendobrak pagar-pagar yang menghalangi, meludahi para polisi, melempar dengan batu, bom Molotov, tongkat bambu, kerikil, botol minuman dan air kencing di dalam botol minuman, dan kalau sempat, menjarah barang-barang yang ada karena kita sangat kesal —saking kesalnya— kehormatan kita telah dinodai. Tidak perlu bicara, diskusi, atau musyawarah dengan kepala dingin, terlalu buang waktu, langsung saja hajar, hajar semuanya, hajar yang telah melukai perasaan! Oleh karenannya hati-hatilah, kami akan memecahkan kaca-kaca jendela, meneror, dan membakar seisi kota. Karena kita adalah bangsa besar yang terhormat yang tidak bisa terima disakiti. Camkan itu! Mau menaikkan harga rokok? Pulau Jawa ini akan kami tenggelamkan!
Jadi apa salahnya? Kemonotonan film nasional adalah juga tontonan sehari-hari dari kehidupan kita semua. Mau kenal dengan Indonesia? Lihat saja film-filmnya.
Lalu apalagi yang terjadi pada film nasional selain kemonotonan? Yang kedua adalah komersialisasi. Tersebutlah sebuah benteng pertahanan terakhir yang besar nan kokoh, berdiri menjulang sebagai penyaring dan pelindung dari gelombang serangan idealisme, kreatifitas, dan inovasi yang menggebu-gebu, berdiri dengan tegak dan angkuh yang membuat semua orang bersujud untuk memuji keindahan di hadapannya, dan perkenalkanlah nama benteng ini: uang. Film: Seni! Produk budaya! Bukan, ini adalah komoditi! Begitulah benteng ini menyebutkan. Proses penyaringan ini sama seperti menyaring emas di sungai. Semua yang berkilau, yang indah, yang sensasional, yang gemerlapan, yang cantik, yang tampan, yang mulus, yang segar, itulah yang terpilih. Orientasinya adalah keuntungan, rating, dan kemauan pasar. Kalau tidak? Untuk apa repot-repot buat film segala?
Dari sinilah makna film terdistorsi. Adalah sebuah kondisi yang sangat dilematis ketika seni harus bertemu dengan kepentingan komersial. Bagaimanapun juga ketika menjadikan film sebagai bagian dari hidup, hal-hal yang berkaitan dengan proses memenuhi kebutuhan hidup pastilah menjadi pertimbangan. Apalagi sifat film yang sangat fleksibel dan menjadi media budaya yang sangat populer seperti musik sehingga selalu ada celah untuk mampu mengkompromikan keberadaannya dengan kepentingan lain. Tapi di sisi lain, tetap saja film sebagai produk budaya dari peradaban manusia tidak bisa sepenuhnya didompleng fungsi dan keutamaannya oleh misi suci untuk mengumpulkan lembar-lembar uang sebanyak-banyaknya. Dan hasilnya adalah seperti sekarang. Wajah perfilman kita dipulas secara membabi-buta sementara kedalamannya begitu cetek. Para aktor-aktrisnya sebagian besar adalah mereka yang begitu diberkahi secara fisik (dan mungkin secara tidak adil) oleh Tuhan Yang Maha Esa tapi kualitas aktingnya sangat membumi alias merakyat alias berdiri sama tinggi duduk sama rendah alias tidak istimewa. Yang menonjol paling-paling adalah kemampuannya dalam menangis, meratap, tersedu-sedu sampai air mata membludak. Modal utamanya adalah ya itu tadi, paras yang mempesona, tubuh yang bagus nan aduhai, dan keberanian untuk memamerkan apapun atas nama profesionalisme. Tujuannya pasti agar penonton datang berbondong-bondong dan modal dapat kembali dengan cepat bahkan berlipat. Sutradara mah comot aja yang ada, syuting juga sebulan kelar, skenario asal jadi, promosi harus gede-gedean, kalau perlu pake helikopter, yang penting balik modal seminggu!
Tapi kembali lagi pada kenyataan bahwa film nasional adalah kita. Komersialisasi itu juga adalah diri kita. Kenapa ada komersialisasi itu juga karena kita adalah bangsa pengkonsumsi. Raksasa gendut pemalas yang membuka mulutnya lebar-lebar ke langit dan menelan semua yang masuk ke dalamnya. Kita telah diajarkan untuk selalu membeli dan membeli. Globalisasi yang menjangkiti seluruh belahan dunia disikapi sebagai era di mana kebutuhan untuk selalu membeli menjadi semakin hari semakin penting. Kita telah menyesuaikan diri dengan hidup di kota yang dijamuri mall, jalan-jalan dipenuhi billboard, semua barang-barang adalah merek, dan gaya hidup mengikuti apa yang diiklankan. Lihat bagaimana begitu cepatnya gadget-gadget baru terjual di Indonesia. Perusahaan elektronik luar negeri sudah sangat mempercayakan negara kita dalam meluncurkan produk terbarunya. Prestasi yang membanggakan. Sebarkanlah semua produk-produk luar negeri di sini, bangun banyak-banyak pertokoan, perindah setiap etalase dengan kaca-kaca mengkilat, pamerkan dengan lampu sorot, dengan konser musik, dengan besar-besaran, maka kami —tanpa disuruh-suruh— akan datang menyambut. Semakin banyak yang dimiliki semakin tinggilah harkat, derajat, dan martabat di dalam kelas sosial. Tidak perlulah repot-repot berpikir untuk menciptakan sesuatu, untuk membuat teknologi, untuk berkreasi dalam menyambut modernisasi, toh kita adalah bangsa besar yang terhormat, bangsa para raja dan ratu, yang duduk dengan anggun menunggu sekelilingnya menyerahkan upeti dan persembahan, kita juga kan bangsa kaya raya, tinggal gesek maka berhamburanlah uang kami. Jadi apa yang salah dengan komersialisasi film? Itu kan kita banget!
Kemonotonan sudah, komersialisasi sudah, apa lagi? Kalau boleh menambahkan satu lagi maka itu namanya adalah orisinalitas. Memang sudah lama kita begitu akrab dengan kata plagiat, plagiator, dan plagiarisme. Seperti yang disinggung sebelumnya, gudang ide telah kehabisan stok. Isinya telah terkuras semua hanya menyisakan debu-debu yang berterbangan. Kosong melompong. Tapi gudang di sebelah, gudang Hollywood, gudang Bollywood, gudang dorama, gudang film Mandarin, gudang film Eropa isinya begitu berlimpah. Dan karena kita bangsa terhormat (sekali lagi), maka akan sangat merendahkan bila kita meminta, memohon, dan mengemis ke gudang sebelah. Demi harga diri, kita ambil saja yang kita perlu dengan diam-diam, masalah ketahuan atau tidak itu urusan belakangan. Yang penting jangan sampai gudang kita kosong. Itu saja.
Film-film Indonesia biasanya selalu bisa ditebak entah dari scene, ide cerita, pengambilan gambar, karakter tokohnya, bahkan dialognya bahwa mereka terinspirasi dari film lain. Tidak menjadi kesalahan atau dosa bila dalam dunia seni selalu tercipta karya yang terinspirasi oleh karya seni yang lainnya. Itu menjadi hal yang lumrah. Tapi yang terkenang dan bahkan dianggap sebagai karya jenius adalah apabila dari inspirasi tersebut dapat menghasilkan bentuk karya yang baru, inovatif, karya dengan makna dan pesan yang baru, karya dengan kualitas lebih baik dan terkadang juga menjadi monumen bagi keberadaan generasi yang baru. Sedangkan film nasional memanfaatkan proses saling terinspirasi ini dengan cara menampilkan landasan idenya secara keseluruhan. Seperti mengganti nama di kertas hasil ujian dengan nama sendiri dan mengklaim dengan senyum terpajang bahwa itu adalah hasil karyanya. Terlalu banyak bukti yang bisa disebutkan mengenai ini. Lihat saja satu film Indonesia, lihat baik-baik, lalu cermati orisinalitasnya. Kalau anda tidak berhasil menemukannya, semoga saja itu bukan karena anda jarang menonton film luar negeri. Amiiin!
Tapi kalau kita kaitkan dengan DNA orang Indonesia, mungkin tidak ada salahnya hal tersebut dilakukan. Lagi-lagi apa salahnya? Bukankah itu sudah menjadi bagian dari budaya kita dan film sudah semestinya menjadi cerminan dari budaya sekitarnya. Budaya seperti apa? Budaya menjiplak, mencontek, meniru, mencontoh, menggandakan, membajak, dan menyalin. Karena filosofi kita adalah lebih cepat lebih baik. Tidak perlulah proses berpikir, berkreasi, atau berimajinasi berlama-lama karena pasti akan melelahkan dan membosankan. Cukup duduk dan tunggu. Biar orang lain yang bekerja keras, kita tinggal mengolah otak untuk memoles ulang. Selera pasar bisa dibentuk. Cita rasa penonton bisa diarahkan. Semua hal yang berbau barat adalah yang terbaik maka ikuti saja dengan tertib. Jangan heran kalau kita, di negara ini, tidak pernah muncul suatu hal yang fenomenal, gebrakan yang mencengangkan dunia, karya pionir yang memukau karena memang bukan itu yang kita pikirkan. Yang penting lebih cepat lebih baik, kita terbiasa dengan urusan korupsi-mengkorupsi, termasuk mengkorupsi kemampuan otak manusia dalam hal kreatifitas. Semua di dunia ini telah tersedia, tinggal kita nikmati saja selagi masih berumur panjang. Santai saja. Tidak usah pusing-pusing. Hidup ini hanya sekali, jadi enjoy aja!
Jadi, satu hal yang mungkin dapat disimpulkan bahwa film nasional telah menjadi cermin yang baik bagi kita semua. Kitalah yang terlihat di layar lebar gedung theater dengan sound system di kanan-kiri, kitalah yang ada di sana sampai tirai tertutup. Kitalah inspiriasi dari para sineas dalam negeri dalam membuat film. Kita berada di tengah lampu sorot yang berkilauan. Kita adalah penonton yang menonton dirinya sendiri. Oleh karenanya kita adalah apa yang kita tonton.
Sebelum mengakhiri tulisan ini ada beberapa pertanyaan lagi yang ingin diajukan. Pertanyaan mengacungkan tangan seperti tadi. Oke, acungkan tangan bagi siapapun yang percaya bahwa suatu saat film nasional akan menjadi lebih baik dan berkualitas? Acungkan tangan bagi siapapun yang benar-benar yakin bahwa akan ada suatu saat di mana film nasional benar-benar bangkit? Acungkan tangan bagi yang memiliki mimpi bahwa di kemudian hari Indonesia akan meraih kehormatannya lewat film? Ya, kita semua memang tidak boleh berhenti berharap dan tentu saja, berusaha untuk mewujudkannya.
Cut!
ikra.. menurut gw sih ga se-mati itu sih.. maksud gw, sejak itu film-film independen yang ga ikut mainstream juga makin banyak... walaupun susah dicari tapi ada dan banyak..
BalasHapusgw sarankan lo bikin blog di kompasiana dan repost semua tulisan ini di sana. serius!! tulisan lo terlalu keren untuk hanya diam di sini.... banyak orang sejenis yang sependapat dan bikin hidup lebih optimis di sana..
hahaha..
film indie di Indonesia memang sedang menggeliat dan tumbuh berkembang. Hanya saja "umur" film ini masih terbatas pada selera masyarakat yang tentu saja terbentuk oleh pasar. Malahan apresiasi justru didapat dari luar negeri. Titik inilah yang bikin dahi berkerut, alasannya yaa balik lagi ke selera masyarakat yang merupakan cermin dari karakter masyarakatnya juga.
BalasHapusMemang butuh proses dan nyali agar film kita dapat bersanding dengan film Jepang, Korea, Iran, Hong Kong, India, bahkan Thailand. Salah satu kuncinya adalah karakter film yang dapat memberikan warna yang jelas pada film nasional dan itu membutuhkan proses kreatif. Masih ada waktu untuk mewujudkan hal ini.
Kompasiana ya? OK, I'll check it out!
Saya sungguh jatuh cinta dengan tulisan2 di blog ini
BalasHapusterima kasih buat saudara Fauzan karena telah menyempatkan waktunya untuk mampir ke sini :)
BalasHapusSukses Mang!
wah rajin aing kra kadieu..
BalasHapussip, sukses oge! terus berkarya nya, hiburan di tengah kepenatan TA yeuh