"Were it not for music,we might in these days say,the Beautiful is dead."
(Benjamin Disraeli)
Oke, kamera? Mikrofon siap? Mikro… ya pasang di sana. Duduk saja yang rileks. Kita siap dalam– oh sedikit ke bawah. Ambil dari kepala ke dada, jangan seluruh badan. Oke? Mikrofon sudah menyala? Kamera siap? Oke– duduk saja yang rileks– oke kita mulai sekarang. Tunggu aba-aba. Siap 3,2,1!
Toko Musik/Music Shop/Musik-Shop/Tienda de música/音楽ショップ
"….Oh sudah mulai? Oke. Hmm. (berdehem). Sebentar. (berdehem lagi). Baik. Kita mulai. Mmm. Toko musik. Semuanya berawal dari beberapa hari yang lalu. Tidak terlalu lama. Oh salah, bukan itu. Lebih tepat lagi dikatakan kalau semuanya berawal dari beberapa waktu yang telah lama. Saya masih kecil, SD kelas…. yah pokoknya usia SD, mungkin bisa anda bayangkan sendiri. Bermula dari kamar salah seorang sepupu saya. Jakarta. Saat itu usianya sekitar usia SMA atau mungkin usia kuliah. Saya ingat bagaimana saya harus mendongak setiap bicara dengannya.
"Kamarnya tidak terlalu besar. Bentuknya persegi panjang. Dindingnya dipenuhi poster-poster. Poster mobil. Poster film. Poster grup musik tahun 80-an –semacam Duran Duran dan sebagainya. Dan rak-rak di meja belajarnya dipenuhi kaset. Banyak sekali. Berjejer dari ujung ke ujung. Lalu di atasnya berjejer lagi dari ujung ke ujung. Dan di atasnya lagi. Ada sekitar tiga-empat baris kaset yang berjejer dari ujung ke ujung. Tidak hanya itu, sebagian kaset-kasetnya juga disimpan di dalam sebuah tempat yang terdiri dari empat buah laci di mana tiap laci dapat menampung kira-kira… 20 buah kaset. Lalu ada lagi tempat lainnya, berbentuk seperti… seperti…. pokoknya… bisa diputar 360 derajat , bentuknya persegi, dengan empat sisi, tiap sisi dapat diisi sekitar… 20 buah kaset. Belum lagi beberapa yang berserakan di atas karpet. Banyak sekali kaset-kaset. Bisa dilihat di mana-mana. Dan itu membuat saya tertarik. Pemandangan kaset-kaset yang berjejer itu, entah mengapa, membuat saya begitu tertarik.
"Saya ingat menyentuh permukaan sisi kaset yang berjejer dari ujung ke ujung itu. Menyeret jari-jari tangan di atasnya, menggerakkannya sepanjang rak buku hingga mengeluarkan suara berisik. Saya memperhatikan kaset-kaset itu satu per satu. Cover-nya. Bentuknya. Dua lubang di tengahnya. Lalu saya putar-putar di antara jari telunjuk. Phil Collins. Duran Duran. Spandau Ballet. Semua yang berasal dari tahun 80-an. U2. Banyak sekali kaset U2. Guns ‘n’ Roses. Michael Jackson. Bon Jovi. Semuanya musik 80-an. Tapi tanpa Metallica. Semuanya berbahasa Inggris. Sting. Skid Row. Van Halen. Prince. Madonna. Roxette. Richard Marx. Air Supply. A-Ha. Paula Abdul. Stevie Wonder. New Kids on the Block. Barry Manilow. Bryan Adams. Mr. Big. George Michael. Wham. Chicago. Kool & the Gang. Tony Braxton. Billy Joel. Michael Bolton. Cyndi Lauper. Toto. Duran Duran. U2. Bon Jovi. Guns ‘n’…
"Lalu saya penasaran dengan kaset-kaset ini. Saya tidak terlalu tertarik untuk mendengarnya. Saat itu ketertarikan saya terhadap musik masih belum tumbuh. Yang membuat saya penasaran adalah dari mana kaset-kaset itu didapatkan. Saya tahu itu memang berlebihan. Sebodoh-bodohnya juga saya tahu kaset-kaset itu dibeli dari toko musik. Tapi maksud saya adalah saya belum pernah pergi ke sana. Sampai saat itu beberapa kaset yang sempat saya punya dibelikan oleh ayah saya lalu diberikan pada saya di rumah, tanpa sedikitpun terbesit pertanyaan dari mana dia mendapatkannya. Barulah saat saya melihat kaset-kaset dari ujung ke ujung itu tiba-tiba saya ingin tahu tentang toko musik, bentuknya, besarnya, dan apa saja yang ada di sana.
"Singkatnya saya pergi ke toko musik. Bersama kakak sepupu saya. Tapi lupa di mana. Saya pergi untuk membeli kaset… saya tidak bisa menyebutkannya di sini, yang jelas isinya lagu berbahasa Inggris, bukan boyband, dan saya ingin membelinya karena melihat sebuah film kartun. Akhirnya saya berada di dalam toko musik. Untuk ukuran tubuh saya waktu itu, toko musik rasanya besar sekali. Dan isinya adalah… wow!
"Dari ujung ke ujung. Tidak lagi selebar rak meja belajar. Tapi dari ujung ke ujung sepuluh kali lipat rak meja belajar. Bahkan kaset-kaset itu tidak disusun dalam rak meja belajar, melainkan sebuah rak khusus yang bertingkat-tingkat. Kaset-kaset itu juga tidak disusun secara menyamping seperti di dalam kamar sepupu saya, tapi disusun dengan memperlihatkan bagian mukanya sehingga saya dapat melihat langsung desain cover dan nama penyanyinya. Semuanya diatur sedemikian rupa sehingga terlihat begitu rapi. Saya terpesona dengan beberapa kaset di sana. Cover-nya. Mmm bukan itu, tapi lebih kepada, kepada bagaimana toko musik itu menampilkan dirinya. Suasananya. Saya juga terbawa dengan suasana musik yang diperdengarkan. Begitu keras. Menggelegar sampai semua orang yang ada di sana bisa mendengarnya dengan volume yang sama. Saya betah berada di sana. Memperhatikan tiap kaset yang dipajang. Bahkan sesaat saya lupa dengan kaset yang ingin saya beli. Dan begitu saya ingat, saya justru tidak menemukan apa yang saya cari. Saya berkeliling-keliling tapi tidak bisa menemukannya. Saya meminta bantuan kakak sepupu saya untuk ikut mencari tapi tetap saja sia-sia, karena dia terlalu sibuk mencari kaset yang ingin ia beli. Saya menghabiskan beberapa waktu di sana, melihat-lihat, membaca nama-nama musisi yang tertera di kaset, membaca judul-judul lagu yang tertulis di bagian belakangnya, beberapa pernah saya dengar, tapi sebagian besar tidak sama sekali, menimbang-nimbang beratnya, dan sekali lagi saya lupa dengan kaset yang saya beli. Sampai akhirnya kakak sepupu saya bertanya pada seorang pegawai di sana lalu tak berapa lama kemudian pegawai itu memperlihatkan kaset yang saya inginkan. Kami membayarnya di kasir, lalu dibungkus ke dalam kantong plastik, dan kami pulang. Saya ingat, itulah pertama kalinya saya merasa toko musik adalah tempat yang sangat penting. Dan berikutnya, bisa ditebak, sampai sebesar ini saya masih sering menapak tilas ke toko musik.
"Yah itulah. Saat pertama di mana toko musik saya rasa penting adalah saat saya berkenalan dan menemukan musik. Sebuah momen. Pengalaman. Dan terus mempengaruhi saya karena saya menyukai musik. Tapi ada saat berikutnya di mana saya merasa toko musik begitu penting. Mungkin Anda ingin tahu, tapi yang ini berbeda dengan yang pertama. Maksudnya… Oke, kejadiannya tidak begitu lama. Beberapa waktu yang lalu. Tepatnya saya lupa, tapi yang jelas beberapa waktu yang lalu. Itu terjadi saat saya pergi ke sebuah toko musik di Bandung dan saya tidak menemukan apa-apa selain fakta bahwa saya tidak bisa masuk ke dalamnya karena pintunya tertutup, saya bahkan tidak bisa menembus halamannya karenapagarnya telah tergembok. Saya tidak melihat tanda-tanda kehidupan di sana. Dari luar terlihat seperti sebuah rumah kosong yang ditinggalkan pemiliknya. Saya belum berani berasumsi apapun sampai saya melihat beritanya di koran bahwa toko musik tersebut gulung tikar dan saat itulah saya merasa toko musik menjadi penting lagi. Saat saya merasa telah ditinggalkan oleh musik."
Pembajakan/Piracy/Piraterie/piratería/著作権侵害
"Saya tidak begitu paham mengapa toko musik itu ditutup. Sangat mengecewakan. Menyedihkan. Saya bahkan tidak bisa mengerti mengapa sebuah toko musik bisa tutup. Apakah orang-orang tidak lagi menyukai musik? Saya rasa tidak, dan itu akan kita bahas nanti. Tidak mungkin orang-orang tidak membutuhkan musik, sampai kapanpun tidak akan mungkin. Mustahil. Apa menurut Anda musik bisa hilang dari muka bumi ini? Hah? Tidak ‘kan. Anda suka musik ‘kan? Nah, itu dia. Tapi bagaimanapun juga toko ini tutup. Seolah-olah tidak ada lagi orang yang datang ke sana dalam beberapa bulan terakhir. Seolah-olah tidak ada lagi orang yang mendengarkan musik.
"Menurut saya begini, (berdehem), salah satu penyebab toko musik itu tutup adalah sebuah masalah lama yaitu… boleh saya minum dulu? Oke (minum). Aaaah. Begini. Jadi… mengapa bisa sampai sebuah toko musik ditutup seolah-olah orang-orang tidak lagi membutuhkan musik yang mana, seperti yang Anda jawab tadi, merupakan suatu hal yang mustahil untuk terjadi adalah karena pembajakan! Familiar ‘kan. Ya, pembajakan. Bahkan Anda tidak terkejut sama sekali.
"Haruskah saya jelaskan di sini? Oke, mudahnya begini. Pembajakan sama seperti vagina seorang gadis perawan yang berdarah. Artinya dia tidak lagi gadis yang sama seperti sebelumnya walaupun ia masih dikenali dari wajahnya sebagai orang yang sama, mengerti ‘kan? Pembajakan sama seperti lubang dubur seorang homoseks. Saya tidak perlu menjelaskan ini tapi Anda mengerti ‘kan? Pembajakan sama seperti silikon dalam buah dada, sama seperti pornografi terhadap seks, sama seperti fashion terhadap kecantikan, sama seperti George W. Bush terhadap demokrasi, sama seperti poster Monalisa, sama seperti celana dalam perempuan yang dipakai oleh laki-laki. Maksud saya pembajakan berarti mencuri sesuatu untuk menjadikannya sesuatu yang kurang lebih sama dengan aslinya namun memiliki nilai, harga, atau kualitas yang lebih rendah dari sebelumnya. Pembajakan menurunkan kasta karya seni menjadi tidak lebih dari “barang sehari-hari”, seperti puntung rokok yang Anda nyalakan lagi, atau BlackBerry dalam dua tahun ke depan.
"Semua orang tahu, saya tahu, Anda tahu, bahwa kaset-kaset atau CD yang dibajak tidak lebih bagus dari aslinya. Tapi jangan salah, industri ini justru memiliki banyak peminat. Kalau tidak, tidak mungkin sampai menyebabkan toko musik tutup segala. Karena harganya yang murah sehingga orang-orang membelinya. Artinya kualitas, nilai musik sebagai karya seni, atau bahkan hukum, tidak begitu penting bagi mereka. Siapa yang tidak tergoda dengan harga murah? Anda juga ‘kan? Hmm? Oh Anda barusan mengangguk atau menggeleng?
"Pertanyaan saya tadi mungkin akan mudah terselesaikan dengan jawaban yang mengacu pada kondisi ekonomi masyarakat kita. Oke, saya anggap itu sebagai pembelaan. Sebuah barikade yang ringkih. Kenapa? Karena saya merasa justru pembajakan bukanlah sebagai jalan keluar dari masalah itu melainkan sebuah jalan pintas yang memanjakan masyarakat terhadap sifat apatis mereka dalam mengapresiasi karya seni. Ini sama sekali bukan solusi. Saya lebih suka bila masyarakat diberikan kesadaran mengenai musik sebagai karya manusia yang prosesnya tidak singkat, menguras tenaga dan pikiran, melibatkan banyak orang, melalui berbagai tahap inspirasi, memerlukan bakat yang spesial, belum lagi dengan percekcokan yang biasa terjadi dalam sebuah band. Musik adalah hasil penerjemahan emosi ke dalam melodi. Sayang sekali bila tidak bisa dinikmati dengan cara yang tepat. Ada berapa banyak sekolah dasar di sini? Saya rasa dari sana harus dimulai pendidikan tentang mengapresiasi karya seni. Apakah ada undang-undang mengenai ini? Hei? Anda mendengarkan saya? Sepertinya Anda melamun dari tadi."
Taken By: Astie
Harga Musik/price of music/prix de la musique/Preis der Musik/precio de la música/音楽の価格
"Hmm. Menikmati musik. Ada banyak cara dalam menikmati musik dan menurut saya semuanya tergantung dari… sebentar, menurut saya sebelum menjawab pertanyaan ini saya ingin mengemukakan beberapa hal terkait pertanyaan sebelumnya. Saya sempat menyinggung tentang pembajakan yang mengurangi harga dari musik. Ini ada kaitannya. Saya rasa pembajakan bukan satu-satunya penyebab toko musik itu tutup. Saya bilang ini adalah masalah lama. Dan saya berpikir bahwa bisa jadi ini tidak relevan lagi, yah walaupun masih menjadi masalah yang krusial juga. Tapi begini. Mmm sebentar. Punya korek? Korek api? Terimakasih (menyalakan rokok).
"Begini. Kita sepakat ‘kan bahwa tidak mungkin orang tidak lagi membutuhkan musik? Itu mustahil. Lalu kemana mereka pergi mencari musik? Di lapak-lapak kaset dan CD bajakan? Mungkin iya, tapi itu masalah segmentasi. Ada kelompok tertentu yang melekat dengan istilah “gengsi” yang rasanya tidak mungkin membeli barang bajakan. Saya termasuk ke dalamnya. Dan kelompok inilah yang menghidupi toko musik selama industri pembajakan ada dari berpuluh-puluh tahun yang lalu. Jadi kesimpulannya, pembajakan sudah akrab dengan industri musik dari jaman dulu dan hubungan keduanya tampak “baik-baik” saja karena adanya segmentasi konsumen tadi. Lalu sekarang apa yang terjadi? Bisa tolong ambilkan asbak? Ya, di sana. Terima kasih.
"Yang terjadi sekarang adalah… (menghisap asap rokok), adalah (menghembuskan asap rokok), adalah karena sekarang harga musik sudah tidak ada lagi. Anda bisa mendapatkan musik tanpa harus mengeluarkan uang dari dompet, bahkan tanpa harus pergi ke toko musik manapun. Anda tinggal menekan tombol dan… voila! (menepuk tangan). Seperti itu saja (menjentikkan jari). Sederhana. Praktis. Cepat. Gratis! Ketikkan saja judul lagu yang Anda inginkan, lalu tekan tombol, tunggu beberapa saat, lalu tekan tombol lagi, tunggu beberapa saat lagi, dan Anda sudah mendapatkan musik yang Anda mau. Tinggal dengarkan saja seenak perut.
"Anda sudah tahu maksud saya ‘kan? Sekarang internet ada di mana-mana dan dari situlah semua lagu-lagu bisa didapatkan semudah mengambil kutu dari kepala monyet. Kalau barang-barang bajakan dapat ditinggalkan karena kualitas suara yang jelek, tidak dengan yang ini, Anda bahkan bisa mendapatkan musik dengan kualitas yang bagus, persis seperti yang didengar di kaset ataupun CD. Benar-benar tinggal mengeruk sesukanya. Semuanya tersedia. Dan saya ingatkan lagi, ini gratis!
"Masalah ini adalah masalah yang baru dalam industri musik terutama karena sekarang kita berada di era teknologi informasi, era internet, era online, era search engine, era downloading, era social networking, era menyebarkan foto diri dengan kepala miring yang diambil dari jarak sepanjang lengan dengan sudut pengambilan sedikit ke atas, era ketika memberitahu semua orang bahwa apapun yang sedang Anda lakukan, termasuk mencabuti bulu ketiak, menjadi faktor penting dalam mempertahankan eksistensi sebagai manusia. Dan untuk dunia musik, kita berada di era di mana pendengarlah yang menentukan berapa harga yang pantas dibayar, bukan lagi industri.
"Menurut saya ini kembali pada selera masing-masing, cara mengapresiasi, dan tingkat kebutuhan terhadap musik. Bagi saya, untuk lagu seperti Across the Universe (The Beatles), Mr. Tambourine Man (Bob Dylan), Love (John Lennon), She’s A Rainbow (The Rolling Stones), One (U2), Patience (Guns ‘n’ Roses), Better Man (Pearl Jam), No Surprises (Radiohead), dan Anda bisa sebutkan sisanya, rasanya mengorbankan uang adalah hal yang pantas untuk dilakukan. Bahkan masih dirasa kurang setimpal kalau dibandingkan dengan efek lagu-lagu tersebut. Saya menghargai ini sebagai “harta karun” dari intelektualitas dan budaya manusia. Musik telah menjadi bagian dari peradaban manusia dan keberadaannya di masa depan tentu saja bergantung dari bagaimana manusia “memperlakukan” musik. Illegal downloading? Itu pemerkosaan. Setidaknya aturan dalam rumah bordil dapat dijadikan acuan bagaimana cara menghargai “karya seni”. Anda setuju ‘kan? Bukan, bukan hanya tentang rumah bordilnya tapi tentang harga musik yang tadi saya bicarakan, setuju ‘kan? Oke."
Menikmati Musik/enjoying music/appréciant la musique/Musik hören/disfrutar de la música/音楽を楽しむ
"Oke sekarang kita akan coba masuk lebih dalam lagi. Anda siap? Siap tidak? (terkekeh) Tidak usah tegang seperti itu. Saya cuma bercanda. Ah, saya lupa menawarkan Anda rokok. Nih, silakan ambil (menyodorkan bungkus rokok). Ayo. Tidak mau? Kenapa? Oh Anda tidak merokok saat sedang mewawancarai? Oke, baiklah. Tidak apa-apa. Asal Anda tahu ini rokok impor. Lihat (menyodorkan bungkus rokok). Impor. Mungkin Anda ingin tahu soalnya beberapa kali mata Anda melihat bungkus rokok ini. Tenang saja, sehabis ini saya akan memberi Anda satu batang.
"Sampai di mana tadi? Oke. Hmm (mengerutkan dahi). Dari mana memulainya ya. Sebentar. Hmm. Oke. Begini. Saat tadi Anda menolak rokok yang saya sodorkan karena Anda tidak merokok saat sedang mewawancarai, apakah itu karena alasan profesionalisme? Apakah alasan Anda timbul atas nama pekerjaan? Hmm? Tentu saja bukan, saya sudah menebak. Itu karena Anda membutuhkan momen khusus dalam merokok. Sebuah saat di mana Anda bisa merasakan kenikmatan dari menarik asap rokok ke dalam paru-paru lalu melepaskannya lewat hembusan napas. Anda memerlukan sebuah kondisi, waktu, dorongan, atau apapun, yang bisa membawa Anda mencapai kenikmatan dari menghisap sebatang rokok. Pokoknya segala sesuatu yang membuat Anda mampu mendefinisikan kenikmatan merokok. Dan momen khusus seperti ini, saya berasumsi, adalah faktor kuat yang menyumbangkan sifat adiktif dari rokok, bukan nikotin. Intinya, penolakan Anda adalah karena Anda tahu cara menikmati sebatang rokok, apalagi rokok impor, dan itu bukan dalam keadaan sedang mewawancarai seseorang.
"Yang ingin saya sampaikan adalah musik, terutama bagi saya, mewakili sifat adiktif yang sama dengan merokok terkait dengan cara menikmatinya. Musik memiliki kekuatannya sendiri. Saya memiliki momen khusus dalam menikmati musik, sebuah kondisi batin yang “lapar” yang menanti musik untuk melahapnya habis-habisan. Sepasang telinga yang siap untuk mendengarkan emosi manusia yang tidak mampu diucapkan tapi hanya bisa disampaikan lewat nada-nada. Momen khusus untuk tenggelam dalam semacam pencerahan yang lewat bahasanya sendiri mampu mempengaruhi diri lebih efektif daripada apa yang diucapkan oleh dosen di dalam kelas. Saya mengatakan bahwa menikmati musik bukanlah hanya duduk dan mendengar, tapi menyerapi, melebur ke dalamnya, hidup dengannya seolah-olah musik sedang membicarakan Anda lalu Anda pun bernyanyi dengan sendirinya dalam pengaruh sihir alam bawah sadar.
"Tapi yang terjadi tidak demikian. Musik tidak lagi dinikmati secara “sakral”. Musik bukan lagi “barang mewah” yang kehadirannya mampu mengganti profesi psikiatris. Musik tidak lagi memiliki kekuatan terapi. Kecenderungannya sekarang adalah orang-orang tidak tahu musik untuk mewakili dirinya. Mereka tidak dapat memilih bahkan memiliki musiknya sendiri. Mereka tidak memiliki momen khusus sehingga musik pun hanya datang dan berlalu dengan cepat. Reaksi yang ditampilkan dari mendengar musik hanya joget dan meracau, sesuatu yang sifatnya kasat mata, tapi di “dalam”-nya musik tidak meninggalkan jejak apa-apa. Hanya hingar bingar. Kehebohan. Woopsy-doopsy. Da da da. La la la. Bla bla bla. Ibaratnya seperti anak ABG yang merokok. Mereka hanya menghisap dan menghembuskan asap rokok tapi tidak benar-benar merokok sampai menikmatinya. Faktor inilah yang saya rasa juga ikut menyebabkan toko musik itu tutup, yaitu kelemahan dalam cara orang-orang jaman sekarang memperlakukan dan menikmati musik. Huff. Mereka cuma berjoget, berjoget, berjoget, berjoget…"
Kekuatan Musik/The power of music/le pouvoir de la musique/die Macht der Musik/el poder de la música/音楽の力
"Oke sekarang begini. Ambilkan saya kertas dan pulpen. Tolong. Terima kasih. (menggambar sebuah segitiga sama kaki). Ha. Ya, seperti inilah kira-kira. Ini adalah proses wawancara kita (memperlihatkan gambar). Kita membicarakan masalah yang berangkat dari toko musik yang tutup dan itu ada bagian alas dari segitiga ini, yang disebabkan oleh pembajakan yang berada di atasnya, lalu mengerucut menjadi harga musik, kemudian cara menikmati musik. Nah, kita belum sampai pada puncak segitiga yang lancip ini. Dan inilah yang akan kita bicarakan sekarang. Mm maaf, Anda masih punya waktu ‘kan? Oke 15 menit cukup.
"Begini, cara menikmati musik yang berubah seperti yang saya bilang sebelumnya adalah sebuah gejala. Penyebabnya tentunya adalah sesuatu yang lebih kritis. Selama beberapa waktu ke belakang tadi, saya memberikan “tuduhan” terhadap manusia, orang-orang, para penikmat musik sebagai subjek yang menyebabkan semua kekacauan ini. Namun sebenarnya puncak masalah adalah musik itu sendiri. Saya melihat bahwa inti dari semua ini adalah apa yang terjadi di dalam musik, bukan reaksi orang-orang terhadapnya. Logikanya, apa yang dilakukan orang-orang terhadap musik, yang menyebabkan ditutupnya sebuah toko musik, berangkat dari sebuah alasan. Dan alasan yang berada di puncak segitiga ini adalah kekuatan musik
"Saya bicara tentang arti musik bagi kita sebagai pendengar. Apa artinya bagi Anda? Kenapa Anda tidak bisa hidup tanpa musik? Anda pasti punya jawaban sendiri. Bagi saya, sama seperti yang dikatakan Bono bahwa musik dapat mengubah dunia karena musik mampu mengubah hidup seseorang. Musik punya kekuatan untuk merubah, sebagai obat yang mewakili perasaan manusia, sebagai suara dari jiwa, hati nurani manusia yang terpendam, sebagai media yang secara gamblang merayakan kemanusiaan, kehidupan, dan peradaban. Anda dengar ‘kan, dalam kata-kata saya musik memiliki arti yang lebih luas ketimbang sekedar nyanyian atau melodi, karena memang itulah kekuatan musik.
"Namun, entah karena apa, sekarang musik tidak lagi memiliki kekuatan seperti itu. Sekarang musik adalah komoditi. Barang-barang yang ditumpuk dalam kotak lalu dijual. Disebarkan kemana-mana untuk ditukar dengan lembar uang. Dirancang, dihias, dibentuk, didandani, diproduksi sedemikian rupa atas nama bisnis dengan prioritas laba sebelum akhirnya diberi label sebagai musik. Musik, para artis tidak membuatnya atas nama seni atau perubahan, tapi selera pasar. Hasilnya, musik tidak lagi memiliki pengaruh yang kuat sebagai landasan intelektualitas orang-orang, terutama kaum muda, dalam mendefinisikan dirinya, dalam menempatkan dirinya sebagai bagian dari suatu generasi, dalam menyatakan eksistensi mereka. Musik tidak lagi memiliki kekuatan untuk menjadi bagian dari sejarah.
"Mari kita lihat perbedaannya. Saya ambil dari musik rock, genre favorit saya, sebagai satu-satunya genre yang selalu berkembang dan berpengaruh. Sejak dilahirkan di tahun 50-an, musik rock telah hadir sebagai suara minoritas dari kelas sosial tertentu. Era 60-an, musik rock berbicara dalam tema cinta, melahirkan generasi bunga, gerakan pemuda-pemudi yang meneriakkan perdamaian, mengutuk perang Vietnam, melahirkan para avant-garde musik yang memetakan musik untuk masa depan, yang inovasinya telah memacu revolusi. Inilah era awal sex, drugs, and rock n roll! Era para dewa-dewa seperti dalam mitologi Yunani.
"Era 70-an adalah kemunculan para pionir. Diawali dengan atmosfer psikadelik yang menampilkan musik sebagai media pengobatan. Lalu muncul para guitar heroes yang mengangkat teknik permainan gitar sampai ke batas maksimal. Musik metal dilahirkan lewat proses persalinan yang tidak direncanakan, dan semakin memperluas daerah jajahan musik rock dalam dunia musik. Era ini dipenuhi oleh berbagai gebrakan. “Stairway to Heaven”, “Bohemian Rhapsody”, Black Sabbath, album The Wall (Pink Floyd), Anda bisa sebutkan sisanya. Dan era ini ditutup dengan manis lewat kelahiran Punk. Semua orang tahu tentang ini, tidak hanya musik, tapi juga filosofi dan gaya hidup yang bertahan sampai sekarang. Anda lihat ‘kan bagaimana musik rock bisa mempengaruhi kehidupan.
"Era 80-an, New Wave, Hair Metal, Thrash, Hardcore. Muncul gerakan independent yang diprakarsai oleh prinsip Do It Yourself dari musik Punk. Anak-anak muda berlomba-lomba membuat musik sendiri, merekam sendiri, memproduseri sendiri, memproduksi sendiri, lalu menyebarkannya sendiri. Banyak sekali terbentuk subkultur. Straight Edge. Zines. Madchester. MTV. Musik mempengaruhi fashion. Era 80-an dapat digambarkan dengan lengkingan Axl Rose yang mengatakan, “welcome to the jungle!”
"Era 90-an, seperti yang kita tahu, adalah dekade alternative nation. Aliran-aliran rock berkembang dengan pesat, mewakili keresahan, pemberontakan, kebingungan, kemarahan, semangat anak muda yang seolah terkesampingkan oleh tekanan dan tuntutan hidup. Grunge. Shoegaze. Industrial. Britpop. Lo-Fi. Melodic Punk. Goth. Numetal. Dan Radiohead lahir. Inilah era ketika MTV menjadi kiblat musik. Setiap orang tahu acara-acara MTV.
"Dan sekarang? Saya tidak tahu. Awal tahun 2000-an memang sempat muncul gerakan garage namun pengaruhnya hanya sebentar. Setelahnya? Tidak ada gerakan, ikatan, aliran musik yang mewakili anak muda. Kita seperti tersesat. Musik tidak lagi memiliki kekuatan untuk membentuk satu generasi. Tidak seperti sebelum-sebelumnya. Karena apa? Salah satunya karena generasi sekarang telah diwakili oleh teknologi, oleh internet, oleh Facebook, Twitter, Blackberry, I-Pod, Myspace, Youtube, dan lain-lain. Ditambah lagi dengan industri musik yang lebih menitikberatkan bisnis pada musik. Semuanya jadi serba materialistis.
"Musik dalam negeri? Lihatlah apa yang terjadi bila kita menuruti selera pasar. Musik dalam negeri seperti gasing yang terus berputar-putar di tempat. Semuanya seragam. Tema yang diangkat pun melulu tentang cinta, cinta, cinta. Bukan cinta dalam pengertian luas, yang sifatnya agung dan universal seperti lagu-lagu The Beatles, tapi cinta temporer dalam kancah perselingkuhan, pacaran, putus-nyambung, jomblo, jomblowati, seolah-olah anak muda bangsa ini tidak memiliki jalur hidup yang lain selain dari mendalami masalah cinta monyet yang terjadi di sekitarnya. Konyol. Menyedihkan. Yang seperti ini bukanlah musik yang merayakan kemanusiaan. Ini adalah musik sebagai komoditi yang cepat datang dan cepat pergi. Dilupakan. Lalu mati.
"Mungkin yang demikian itulah yang sedang terjadi pada musik. Ini yang dinamakan dinamika. Musik mungkin sedang berada dalam tahap kepompong. Industri musik pun sedang dalam persiapan untuk kembali dilahirkan mengingat ia tidak dapat menghindar dari kemajuan teknologi. Bentuk musik di masa depan mungkin tidak lagi sama. Tapi yang jelas musik masih tetap akan ada.
"Yah, musik… (menatap kamera)…akan selalu ada.
"(bergetar) Dimanapun… musik… dari ujung ke ujung.
"Saya. Anda. Semua orang.
"Musik akan selalu ada.
"Seperti dulu.
"Dulu.
"Saat kedua mata mungil ini berbinar-binar.
"Melihat semua yang disajikan di toko musik.
"Berjejer dari ujung ke ujung."
Dan cut!
Seseorang tolong ambilkan tisu!
Seseorang tolong ambilkan tisu!
***
all right, very long, the longest i think. It took 15 minutes more for me to read your aficionado post and took 25 min more to write down this comment, so i spent 40 min of my morning time for you *sigh*.
BalasHapusSaya selalu membagi 2 kategori musik, musik yang everlasting dan musik yang akan segera dilupakan. Musik yang everlasting adalah musik2 tahun 60-70an, bolehlah bob dylan masuk, beegees, beatles, phil collins, rolling stones, george michael, barry manilow, billy joel, carpenters, frank sinatra, james ingram, nkotb, lionel richie, olivia newton, pretenders, jackson five semuanya abadi! Musik yang tidak everlasting ya musik2 indo jaman sekarang yg di otaknya hanya ada duit duit dan duit, kayanya dibuat hanya buat ngejar setoran aja, tp herannya orang2 ko suka yah, zzz, terus kalo dr luar negeri musik2 saat ini juga akan segera dilupakan, dari semua genre loh.
Seorang kawan mengatakan kepada sy waktu sy bertanya 'menurut kamu kita harusnya beli ga sih' trus dia bilang 'ya kalo band indo beli aja tp kan kalo band luar ga usah jg gpp, ga ngaruh jg gitu buat ekonomi indonesia'
Kalo semua org mikirnya gitu (yah kalo sy sih lebih parah, ga usah dibahas) ya otomatis kan, pada gulung tikar, soalnya lagu indonesia ga ada yg worth it buat dibeli (buat sy), trus lagu barat hanya di download, ya udah deh hancur.
Kalo masalah para penikmat musik, ada kok perkumpulan para aficionado piring hitam dan lagu lama, om saya juga ikutan, mungkin kamu berminat ikutan? hehe
I like what you quote from Bono "musik dapat mengubah dunia karena musik mampu mengubah hidup seseorang". Satu lg, musik bisa mengubah mood kamu, kra. masa pas kita lg brantem, akunya nangis, kamu malah nyanyi2, sial. hehe
sekian dulu komentar dari sy, lebih kurangnya akan sy tambahkan di kemudian hari dalam jangka waktu tidak terbatas.
Salam. cheerios!
hahaha, i like your comment (reply-nya singkat aja ya, soalnya comment kamu udh panjaaang), terutama tuduhan kamu kalau saya bernyanyi di atas penderitaan orang, damn!
BalasHapusanjoy saya udah komen panjang2, sampe setengah jam, hanya dibales gitu doang. unappreciated!
BalasHapusyes you are kra! bernyanyi di atas penderitaan orang. kamu banget. hahahahahha
anjir!!!!tulisan maneh hade2 pisan kra!baleg..sumpah aing mah, terkesima keneh aing maca2 na
BalasHapusgeblekss,,jago pisan maneh nulis kra.. masalah konten udah ga diraguin lagi ya, lalu yang bikin aing takjub gaya penulisan ini, aing jadi ngebayangin aquarius dulu itu bentuknya kaya apa, ada rak best seller,new relase, kl CD tempatnya misah ke dalem, rak kaset indonesia ma barat dipisah seberang2an.. trs mpe jadi kbayang kl maneh lagi diwanancara, bawa roko impor, dibuka dinyalain diisep (bagi atuh euy), minum, hahaha...
BalasHapusselamat berkarya sodaraku!
mang, font nya dibikin rada lebih gede atuh, pusing euy lila2 maca laleutik teuing teh..(saran dari fans ieu mah..hehehe)
BalasHapushahaha... rada susah euy ngatur font teh, kalo digedein jadi kegedaan, kecil malah kekecilan. Teuing tah kumaha.
BalasHapus