"Many people pray as if God were a big aspirin pill;they come only when they hurt."
(B. Graham Dienert)
Ketika saya masih kecil, lugu, polos, dan ingusan, saya diperkenalkan dan dijejali oleh lingkungan sekitar dengan doa’-do’a. Awalnya tidak terlalu jelas mengenai maksud dari do’a-do’a tersebut, untuk siapa, dan apa gunanya yang jelas setiap sebelum makan, sebelum tidur, bepergian, sesudah makan, masuk dan keluar kamar mandi, masuk & keluar mesjid, bangun tidur, dari pagi, siang, dan malam, saya meluncurkan do’a-do’a dari bibir dalam bentuk hapalan. Bahkan saya mengucapkan tiap do’a tersebut dua kali, dalam bahasa Arab lalu artinya dalam bahasa Indonesia. Saking seringnya sampai-sampai semuanya serba otomatis dan jangan tanyakan ‘isi’ dari do’a-do’a tersebut karena saya toh hanya sekedar mengucapkannya saja tanpa tahu ‘pesan’ yang terkandung di baliknya. Hal yang lumrah buat ukuran anak kecil yang mempelajari do’a sebagai jalan untuk mendapatkan nilai bagus dari pelajaran Agama Islam di sekolah.
Sedikit lebih besar saya mulai sedikit paham. Konsep tentang ketuhanan. Konsep tentang Islam. Tentang do’a-do’a yang saya pelajari, siapa yang mengirimkan pada siapa, apa maksud dari setiap katanya, dan tentang sebuah prosedur timbal-balik di mana Tuhan memiliki kuasa untuk mengabulkan do’a. Pernyataan yang terakhir ini membuat saya mengerti apa gunanya berdo’a dan itu semakin memacu saya untuk mengucapkannya tiap makan, tidur, keluar-masuk WC, keluar-masuk mesjid, dari pagi, siang, hingga malam. Tuhan Maha Mendengar, Tuhan Maha Melihat, dan Tuhan mengabulkan do’a-do’a umatnya. Pada akhirnya setiap kegiatan tersebut pun sifatnya berubah menjadi sesuatu yang sakral, suci, dan khusyuk padahal saat itu saya belum terlalu mengindahkan sholat lima waktu sebagai ibadah yang lebih utama kedudukannya.
Semakin bertambah usia, saya mengerti bahwa ternyata do’a memiliki ruang lingkup yang luar biasa luas. Do’a bisa diaplikasikan tidak hanya dalam kegiatan rutin yang saya kenal (makan, tidur, dsb.) tapi juga ke dalam setiap aspek kehidupan yang saya lalui. Konsepnya menjadi semakin terang bahwa manusia berdo’a dalam kapasitasnya untuk memohon dan meminta sesuatu sementara Tuhan di atas sana mendengarkan lalu mengabulkan. Saya bisa berdo’a untuk segala macam hal, berdo’a agar mendapatkan nilai bagus saat ujian, berdo’a saat akan menendang penalti, berdo’a agar hari tidak hujan, berdo’a agar hujan turun deras, berdo’a agar kilat dan petir tidak memecahkan kaca jendela-jendela rumah, berdo’a agar guru Bahasa Indonesia tidak masuk karena sakit, dan sebagainya.
Dari sinilah semuanya terkuak. Praktek bisnis kirim-mengirim atau jual-beli do’a ini ternyata merupakan franchise Tuhan yang beresiko tinggi. Siapapun yang telah masuk ke dalam aktivitas bisnis ini maka ia harus memiliki mental yang kuat untuk menerima segala kerugian yang mungkin terjadi. Ini diindikasikan oleh adanya fakta bahwa tidak semua proposal do’a yang diajukan mendapatkan persetujuan dari sang pimpinan tertinggi. Dalam kegiatan mengabulkan do’a, Tuhan juga memiliki hak prerogatif untuk menjawab tidak. Inilah yang awalnya tidak saya sadari, bahwa ternyata semuanya tidak berjalan semudah yang dikira. Tidak ada yang bisa menjamin besarnya keuntungan yang akan diterima, bahkan sulit memastikannya lewat matematika atau ilmu statistik sekalipun. Yang jelas di sini tidak berlaku sistem Buy 1 Get 1Free. Bahkan kenyataannya tidak ada yang gratis sama sekali.
Saya merasa terjebak ke dalam ‘roda bisnis’ ini, pada awalnya, malah merasa seperti tertipu. Saya berdo’a sambil pelan-pelan mengambil ancang-ancang mudur lalu setelahnya berlari dan menendang bola sekuat tenaga, namun hasilnya? Bola yang saya tending melebar jauh dari gawang dan saya gagal mengeksekusi penalti. Saya berdo’a ketika lembar soal ujian dibagikan, berharap agar dapat meraih hasil yang maksimal, namun hasilnya? Saya tidak bisa menjawab soal-soal tersebut 100% dengan benar justru teman saya yang meraih nilai sempurna. Seberapa keras pun saya berdo’a saya tetap harus mengikuti pelajaran di bawah suasana teror guru Bahasa Indonesia yang mengajar dengan gaya yang sinis dan mata melotot. Di titik ini, saya percaya dan mengambil kesimpulan bahwa sampai usia tertentu, taruhlah kelas 4 SD, berdo’a tidak lagi sama. Berdo’a mirip dengan bertaruh di mana selalu memiliki probabilitas yang tak mudah ditebak akan keberhasilan dan kegagalannya.
Maka muncullah kebingungan dan pertanyaan-pertanyaan. Lalu untuk apa berdo’a kalau begini? Apa maksudnya kita berdo’a? Kenapa harus berdo’a? Toh itu tidak menjamin semuanya akan berjalan sesuai dengan yang diharapkan. Tapi kenapa berdo’a menjadi hal yang penting? Mungkin ini sama seperti pernyataan takhayul bahwa anak-anak tidak boleh di luar rumah saat menjelang malam tiba karena akan diculik oleh semacam mahluk halus atau bahkan tentang keberadaam sinterklas yang sengaja diangkat oleh para orang tua sebagai bagian dari pola mendidik anak. Karena faktanya, seorang anak akan mendapatkan banyak pujian ketika selalu berdo’a sekaligus mendapat cap anak saleh dari orang-orang sekitar sementara semakin hari saya justru merasa itu tidak lagi menjadi penting.
Seiring dengan berjalannya waktu serta berbagai pengalaman hidup yang saya arungi, saya menyimpulkan bahwa berdo’a merupakan kegiatan yang saya sebut passive-dependent complement. Kegiatan ini dapat dengan mudah diaplikasikan di mana saja dan pada kondisi apapun dan bahkan tidak begitu terikat dengan tata cara tertentu walaupun kecenderungan untuk melakukannya sebagai bagian dari identitas atau simbol dari suatu agama dan kepercayaan masih sering ditunjukkan oleh orang-orang, namun apapun bentuknya, setiap orang bisa melakukannya sesuai dengan caranya sendiri. Namun dalam kenyataannya berdo’a bukanlah suatu kegiatan yang sifatnya tunggal, dalam artian bahwa berdo’a tidak bisa dilakukan tanpa ada kegiatan yang mendahului dan atau ada di belakangnya dengan kata lain berdo’a memiliki ketergantungan atau depedensi dengan kegiatan lain. Sehingga dalam hal ini secara garis besar do’a berfungsi sebagai pelengkap, sebuah suplemen, sebagai susu segar di antara nasi dan lauk pauk, sebagai bagian dari puzzle yang tanpanya tidak akan tersusun sebuah gambar yang utuh. Berdo’a merupakan pengkondisian di mana setiap alat indera, pikiran, dan hati berada dalam kondisi pasrah, kondisi penyerahan diri seluruhnya kepada kekuatan lain yang lebih besar dari diri sendiri yaitu Tuhan atas nama setiap permohonan yang diajukan kepada-Nya. Berdo’a bukan lagi tindakan berpikir, menghitung, bekerja, berkeringat, dan tindakan-tindakan lain yang dikendalikan oleh otak dan keinginan manusia secara aktif tapi murni merelakan semua kemampuan tersebut kepada Yang Maha Kuasa. Passive. Dependent. Compliment.
Jadi disadari atau tidak do’a bisa jadi memiliki prasyarat, syarat , prosedur, aturan, dan kebijakan tersendiri yang berlaku di kalangan akhirat sebagai pertimbangan dalam pengambilan keputusan terhadapnya. Ini mungkin yang harus diperhatikan oleh para pendo’a termasuk saya yang akhirnya memahami bahwa ada harga yang harus dibayar untuk sebuah do’a. Hanya Jin milik Aladdin yang mampu mengabulkan permintaan secepat kilat dan tanpa dipungut biaya.
Manusia berdo’a kepada Tuhan dalam kaitannya untuk memohon kemudahan atau penyelesaian dari segala masalah yang menimpa. Setiap orang melakukan hal tersebut dengan berbagai gestur, mimik, ekspresi, intonasi, bahkan juga ada yang mendeklamasikannya secara puitis semata-mata untuk meminta pertolongan dalam hidupnya. Namun perlu dicermati bahwa pada hakikatnya, dunia dan kehidupan ini bersifat material. Walaupun ada juga hal-hal atau zat-zat gaib yang berjalan seiring kehidupan tetapi itu bukanlah teritori milik umat manusia karena kehidupan yang dilimpahkan dan dijalani oleh mereka adalah kehidupan yang sifatnya kasat mata, inderawi, nyata, realis, materialis, dan fisik. Atas dasar ini Tuhan menciptakan manusia dalam kondisi yang paling sempurna untuk kehidupan dunia dan dilengkapi instrumen-instrumen utama seperti panca indera, akal dan perasaan, Maka selama kehidupan ini hanya diperuntukkan dan dijalani oleh manusia, berarti segala hal yang terjadi di dalamnya adalah kombinasi-kombinasi sebab-akibat dari interaksi manusia terhadap hidupnya. Sehingga setiap permasalahan yang ditimbulkan manusia adalah segala sesuatu yang sifatnya material di mana manusia memiliki instrumen-instrumen diri yang dipersiapkan untuk menghadapi dan menyelesaikannya. Secara ringkas bisa dibilang bahwa setiap permasalahan dunia ditimbulkan oleh manusia dan hanya bisa diselesaikan oleh manusia juga.
Dari teori ini, sifat do’a sebagai passive-dependent complement muncul, bahwa berdo’a bukanlah solusi utama yang digunakan manusia dalam hidupnya. Manusia tentunya diciptakan Tuhan untuk mampu menyelesaikan masalahnya sendiri lewat proses, usaha, kerja keras, ketekunan, bakat, potensi, kreatifitas dan kepintaran dalam memanfaatkan apa yang ada di sekitarnya. Oleh karena itu titik berat do’a berada pada apa yang dilakukan oleh manusia dalam usahanya memenuhi keinginan atau permohonannya tersebut. Tanpa itu, do’ a tidak bisa mengada dengan sendirinya karena nilai dari do’a berbanding lurus dengan seberapa besar usaha yang dilakukan. Do’a hanyalah sebuah pelengkap, penyempurna dari apa yang telah diusahakan oleh manusia dalam kaitannya untuk meminta persetujuan, ridho, berkah, atau penilaian dari Tuhan sebagai pengatur dan penguasa atas segala sesuatu. Segala bentuk usaha fisik manusia diwakili oleh do’a yang disampaikan ke telinga Tuhan. Dan akhirnya saya mengerti bahwa saya tidak bisa seenaknya saja berdo’a tanpa adanya keyakinan dan kemampuan untuk mewujudkannya sendiri karena mengingat sifatnya yang pasif, itu sama saja dengan bentuk kemalasan atau mungkin tindakan pembenaran yang oportunis.
Makanya saya heran ketika di lingkungan saya justru tercipta kondisi di mana prioritas do’a lebih utama ketimbang usaha. Segala hal seperti diserahkan begitu saja ke tangan Tuhan dengan harapan yang sangat besar sementara manifestasinya nol. Entah apa yang ada di pikiran mereka, mungkin ini disebabkan karena sebagian penduduk negara ini masih percaya dengan hal-hal klenik ketimbang realita sehingga setiap kali tertimpa masalah pikiran mereka selalu tertuju kepada datangnya mukjizat, anugerah, keajaiban, atau mungkin ibu peri yang baik hati. Apa yang bisa diharapkan apabila untuk menghadapi masalah ekonomi, kemiskinan, kebodohan, keterbelakangan, ketidakadilan, kriminalitas, korupsi, dan segala masalah bangsa ini, hanya dilakukan dengan berdo’a atau ibadah-ibadah samawi lainnya? Kebanyakan orang malah lebih suka untuk melakukan usaha seadanya lalu berdo’a dengan habis-habisan kalau perlu sampai berlinang air mata. Hasilnya adalah lahirnya sosok dan karakter yang agamais atau religius namun miskin kepekaan sosial dan kehilangan kapasitas untuk mampu berkontribusi secara nyata di kalangan masyarakat. Anehnya orang-orang ini justru yang dijadikan panutan rakyat. Mereka ini tampaknya terlalu asyik hidup dalam do’a-do’anya sementara kehidupan dunianya ditinggalkan begitu saja padahal itu adalah tanggung jawab mereka sebagai manusia, untuk hidup, bukan melulu berdo’a.
Bukankah bisa dibilang kurang ajar atau tak tahu malu apabila masalah yang ditimbulkan oleh manusia sendiri malah dilimpahkan penyelesaiannya kepada Tuhan. Seolah-olah tidak mau tahu dan masa bodoh. Berbondong-bondong pergi ke mesjid lalu berdo’a bersama, memohon-mohon sampai suara serak agar negara ini dijauhi oleh kemiskinan dan kebodohan. Entah apa yan terjadi setelah mereka keluar dari mesjid. Sekali lagi, kalau meminta kepada jin Aladdin pasti akan langsung terwujud tapi kalau kepada Tuhan maka aturan mainnya berbeda. Masalahnya adalah kurang kepercayaan diri terhadap kemampuan yang dimiliki bahkan bisa jadi potensi diri tidak tergali secara dalam sehingga orang begitu mudahnya berserah diri. Benar adanya yang dikatakan Karl Marx bahwa agama adalah candu karena manusia teralihkan dari upaya menemukan hakikat dirinya dan terfokus kepada ketergantungannya terhadap Tuhan.
Saya merasa bahwa kekuatan do’a adalah cerminan dari kekuatan manusia juga. Tuhan tidak akan dengan mudah memberi kita jalan kecuali kita memang berusaha untuk mencarinya. Do’a merupakan hal yang penting atau menjadi penting hanya ketika dibarengi dengan tindakan dalam mewujudkannya. Menurut saya manusia yang beriman adalah bukan mereka yang selalu meminta dan menunggu jawaban dari do’anya melainkan mereka yang membentuk mental untuk selalu mengejar dan meraih do’anya itu. Karena sampai kapan kita akan menunggu persetujuan Tuhan akan do’a-do’a kita sementara hidup ini masih terlalu angkuh untuk sekedar melambatkan langkahnya?
passive dependent complement. haha. nice.
BalasHapusDidiklah anak sedini mungkin untuk mengetahui bahwa dalam hidup memang perlu berdoa tapi harus didahului usaha yang seimbang.
Aaaah pokonya pendapat saya udah ada di 'cerpen' kamu ini laaah pokonyaaaa. setujuuuu!!!!!
nothing's free in this world baby.. hihi