"Life on the other hand won't let you understand,
'cause we're all part of the masterplan."
(The Masterplan, Oasis)
Cerita di bawah ini saya kutip dari sebuah buku, yang mana saya sendiri lupa dari buku apa cerita ini saya temukan, hasilnya, saya berusaha menceritakan kembali cerita ini dengan cara dan bahasa saya sendiri (semoga saya tidak merusak pesan yang disampaikan oleh cerita ini) :
Suatu kali seorang pangeran dari sebuah kerajaan memutuskan untuk pergi berlibur. Terdorong oleh keinginannya untuk menjelajahi dunia yang sama sekali baru, maka ia memutuskan untuk pergi melintasi benua menuju sebuah pulau yang asing. Setelah menempuh perjalanan berhari-hari, akhirnya ia sampai di tempat tujuan. Pulau tersebut terlihat asri, alami, dengan pemandangan-pemandangan eksotis yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Ia menghabiskan waktu di sana dengan berjalan kaki, menikmati dan menyusuri setiap keindahan yang ia temui.Sepanjang jalan, ia tak henti-hentinya merasa kagum.
Lalu setelah beberapa lama, sampai di ujung pulau. Ia menemui sebuah perkampungan yang membentang jauh ke dalam. Karena penasaran, maka ia masuk ke dalam perkampungan tersebut dan betapa terkejutnya ia terhadap apa yang ia lihat. Setelah sebelumnya menikmati keindahan pulau, sekarang ia justru mendapati sebuah pemandangan kumuh di tempat itu. Ia melihat orang-orang yang kurus kering dengan kulit sebagai pembungkus tulang, bayi-bayi yang menangis kehausan, anak-anak kecil yang tubuhnya dekil, hewan-hewan ternak yang sakit, orang-orang cacat, dan para orang tua yang sudah menyerupai mayat hidup. Belum lagi tempat tinggal mereka yang hanya terdiri dari kayu, jerami, dan pepohonan ditambah dengan aroma busuk yang menyebar ke mana-mana dan air yang sudah menghitam yang mengairi perkampungan mereka. Pangeran tersebut hanya bisa diam tak berkutik menyaksikan mereka seraya melewati seluruh perkampungan tersebut. Ia melihat suatu bentuk kemiskinan yang sebelumnya hanya pernah ia dengar. Dalam hatinya ia bertanya-tanya, "mengapa ada sekelompok orang yang hidup seperti ini?"
Begitu selesai berjalan-jalan, masih dalam kondisi batin yang terguncang, ia berlari menuju sebuah gunung. Di situ, ia berpikir tentang orang-orang tadi. Ia berpikir tentang dirinya, hidupnya yang dipenuhi oleh gemerlap materi dan kemewahan, yang tampaknya tidak pernah sedikit pun ia mengalami suatu kekurangan apapun. Lalu ia mengingat kembali apa yang baru saja ia lihat dengan kedua matanya. Dan ia pun mulai menangis. Sambil diliputi oleh rasa sedih, iba, jijik, dan marah ia berteriak kepada langit:
“Tuhan! Apa yang telah Kau lakukan? Selama ini Engkau beri hamba berbagai kenikmatan, limpahan makanan, dan kekayaan, tapi kenapa Engkau meninggalkan mereka? Mengapa Engkau beri aku segalanya sedangkan mereka Engkau lupakan? Mengapa Engkau diam saja? Bukankah Engkau seharusnya berbuat sesuatu untuk mereka? Bukankah mudah bagi-Mu untuk memberi apa yang aku dapat kepada mereka? Kumohon, lakukanlah sesuatu."
Lalu seketika itu juga langit pun menjawab:
“Wahai anakku, engkau telah salah mengira. Aku tidak pernah melupakan mereka, justru sebaliknya, Aku telah berbuat sesuatu untuk mereka, yaitu dengan menciptakan KAMU."
Suatu kali seorang pangeran dari sebuah kerajaan memutuskan untuk pergi berlibur. Terdorong oleh keinginannya untuk menjelajahi dunia yang sama sekali baru, maka ia memutuskan untuk pergi melintasi benua menuju sebuah pulau yang asing. Setelah menempuh perjalanan berhari-hari, akhirnya ia sampai di tempat tujuan. Pulau tersebut terlihat asri, alami, dengan pemandangan-pemandangan eksotis yang belum pernah ia lihat sebelumnya. Ia menghabiskan waktu di sana dengan berjalan kaki, menikmati dan menyusuri setiap keindahan yang ia temui.Sepanjang jalan, ia tak henti-hentinya merasa kagum.
Lalu setelah beberapa lama, sampai di ujung pulau. Ia menemui sebuah perkampungan yang membentang jauh ke dalam. Karena penasaran, maka ia masuk ke dalam perkampungan tersebut dan betapa terkejutnya ia terhadap apa yang ia lihat. Setelah sebelumnya menikmati keindahan pulau, sekarang ia justru mendapati sebuah pemandangan kumuh di tempat itu. Ia melihat orang-orang yang kurus kering dengan kulit sebagai pembungkus tulang, bayi-bayi yang menangis kehausan, anak-anak kecil yang tubuhnya dekil, hewan-hewan ternak yang sakit, orang-orang cacat, dan para orang tua yang sudah menyerupai mayat hidup. Belum lagi tempat tinggal mereka yang hanya terdiri dari kayu, jerami, dan pepohonan ditambah dengan aroma busuk yang menyebar ke mana-mana dan air yang sudah menghitam yang mengairi perkampungan mereka. Pangeran tersebut hanya bisa diam tak berkutik menyaksikan mereka seraya melewati seluruh perkampungan tersebut. Ia melihat suatu bentuk kemiskinan yang sebelumnya hanya pernah ia dengar. Dalam hatinya ia bertanya-tanya, "mengapa ada sekelompok orang yang hidup seperti ini?"
Begitu selesai berjalan-jalan, masih dalam kondisi batin yang terguncang, ia berlari menuju sebuah gunung. Di situ, ia berpikir tentang orang-orang tadi. Ia berpikir tentang dirinya, hidupnya yang dipenuhi oleh gemerlap materi dan kemewahan, yang tampaknya tidak pernah sedikit pun ia mengalami suatu kekurangan apapun. Lalu ia mengingat kembali apa yang baru saja ia lihat dengan kedua matanya. Dan ia pun mulai menangis. Sambil diliputi oleh rasa sedih, iba, jijik, dan marah ia berteriak kepada langit:
“Tuhan! Apa yang telah Kau lakukan? Selama ini Engkau beri hamba berbagai kenikmatan, limpahan makanan, dan kekayaan, tapi kenapa Engkau meninggalkan mereka? Mengapa Engkau beri aku segalanya sedangkan mereka Engkau lupakan? Mengapa Engkau diam saja? Bukankah Engkau seharusnya berbuat sesuatu untuk mereka? Bukankah mudah bagi-Mu untuk memberi apa yang aku dapat kepada mereka? Kumohon, lakukanlah sesuatu."
Lalu seketika itu juga langit pun menjawab:
“Wahai anakku, engkau telah salah mengira. Aku tidak pernah melupakan mereka, justru sebaliknya, Aku telah berbuat sesuatu untuk mereka, yaitu dengan menciptakan KAMU."
Mendengar jawaban dari langit itu, tentunya ada sedikit perasaan malu yang saya rasakan. Selama ini saya hanya bisa menyaksikan kemiskinan, mendengarkannya lewat lagu dan puisi, dan mendefinisikannya dalam bentuk angka-angka statistik. Seringkali juga terlalu repot mencari kambing hitam atas kondisi tersebut atau barangkali menyudutkan pemerintah dan sistem ekonomi yang berlaku. Di lain waktu, saya bahkan mencap kemisikinan tersebut sebagai produk dari kemalasan dan mental lemah yang tak ingin berusaha untuk mencari kehidupan yang lebih baik. Entah apa yang sebenarnya terjadi, yang jelas cerita di atas memberi tahu saya untuk berhenti cengeng mempertanyakan arti hidup saya, dan mulai untuk bisa memaknainya dari sudut pandang orang lain. Semoga bermanfaat!
kayak pernah tau juga cerita ini.
BalasHapusone thing i learned!
jangan ngomong aja, semua orang biasanya hanya ngomong aja
ayo berikan kontribusi nyata kalian!!
karena sedikit bantuan pun berarti.
jadi kapan kita ke panti asuhan? hehe