"Herge has influenced my work to the same degree Disney has. For me, Herge is more than an illustrator of cartoon strips. There is a political and satirical dimension that permeates his work."
(Andy Warhol)
Mungkin alasan pertama yang muncul kenapa saya begitu menyukai komik terkenal ciptaan Georges Remi atau Herge ini adalah karena Tintin hadir sebagai sosok 'superhero' yang sangat manusiawi. Suatu hal yang mungkin terlalu riskan bagi komikus maupun penerbit manapun untuk menerbitkan komik di mana di tokoh utamanya bukanlah sosok yang tahan peluru, memiliki kecepatan suara, dapat terbang, atau mengenakan kostum konyol, namun justru mengedepankan konsep yang lebih 'sederhana' sekaligus memikat. Memang bisa dibilang hebat bahkan luar biasa ketika seri komik ini tiba-tiba menjadi 'booming' di dunia di tengah invasi komik Amerika di bawah panji nama-nama besar seperti Superman, Batman, Spiderman, dll, dan di dekade-dekade berikutnya ketika Jepang mencoba menggeser kekuatan komik lewat kemunculan Manga, Tintin seakan tidak termakan oleh waktu dan terus melahirkan penggemar-penggemar baru dengan daya pikat yang tak pernah habis lewat tampilannya yang begitu ikonik dengan jambulnya.
Tintin kini telah berusia 80 tahun lebih dan terbit dalam 24 seri, termasuk seri terakhir, Tintin and Alpha-Art yang tidak sempat diselesaikan oleh sang kreator karena harus memenuhi panggilan Tuhan. Jumlah 24 seri merupakan angka yang sangat kecil bila dibandingkan dengan tokoh-tokoh komik lain yang kebanyakan memiliki seri yang lebih banyak daripada itu, bahkan mencapai ratusan, namun keberhasilan Tintin untuk memberikan kesan di setiap serinya membuat orang-orang seperti tidak bosan-bosannya harus membaca cerita yang itu-itu lagi walaupun saya akui di hati kecil ini sempat ada sedikit penyesalan kenapa Herge tidak menjual hak cipta Tintin ke pihak lain, atau mungkin yang lebih dibuat-buat lagi, mengapa Herge tidak hidup saja selamanya.
Tidak memerlukan waktu lama bagi seseorang, termasuk saya, yang membaca komik Tintin untuk menemukan bahwa komik ini begitu menghibur sekaligus lucu. Ini menjadi alasan kedua saya kenapa saya menyukai Tintin. Humor-humor slapstick dan cerdas yang juga didukung oleh karakter-karakter unik yang melahirkan situasi yang menarik, memancing tawa, dan bahkan menegangkan telah berhasil membius pembaca di segala usia. Entah kenapa saya merasa komedi yang ada di komik Tintin selalu seperti hal yang baru tiap kali membacanya dan tentu saja itu membuat saya selalu tertawa atau bahkan sekedar tersenyum kecil. Tintin sebenarnya menampilkan humor yang ringan namun kelihaian Herge dalam menggarap situasi membuatnya terasa begitu cerdas dan sulit ditebak dan inilah satu lagi keunggulan Tintin yang sulit ditandingi.
Alasan berikutnya kenapa saya menyukai Tintin adalah sajian petualangan yang seru dan luas. Tintin membawa kisah hidupnya dari Kongo samapai ke Peru, dari Cina sampai ke Timur Tengah, dari Tibet sampai ke Bulan, bahkan jauh sebelum Neil Armstrong melakukannya, dan saya sebagai bangsa Indonesia memiliki kehormatan karena di seri Flight 714, Tintin mampir di Jakarta dan Pulau Sumbawa. Pekerjaannya sebagai wartawan yang penuh rasa ingin tahu membuatnya menghadapi berbagai macam kesulitan, intrik, dan peristiwa yang menarik. Ditemani anjing kesayangannya Snowy (dalam versi aslinya: Milo), Captain Haddock yang pemabuk, Prof. Calculus (Prof. Tournesol) yang tuli, serta dua detektif kocak Thomson & Thompson (Dupont & Dupond) yang menambah keasyikan di setiap petualangan, sehingga tak jarang, terutama di masa kecil, saya bermimpi untuk menjadi bagian di komik Tintin dan bercita-cita menjadi seorang wartawan kelak (namun untuk alasan tertentu, saya tidak menyanggupinya, karena ternyata kondisinya berbeda jauh antara di Indonesia dengan yang saya bayangkan). Di balik setiap petualangan Tintin, selalu terdapat pesan-pesan sosial yang kuat terhadap kondisi politik tertentu yang terjadi di dunia, yang telah sempat membuatnya dicekal, dan ini yang membuat Tintin sebagai komik memiliki kekuatan tersendiri bagi kehidupan sosial terutama di Eropa sana.
Dan yang terakhir, kehebatan Tintin adalah gambarnya yang khas. Bagian wajah yang sederhana, dengan hanya menampilkan titik untuk menggambarkan mata, serta paduan warna yang unik membuat saya betah membuka tiap lembaran komik Tintin. Herge tidak menggambar secara detail dan rumit dengan efek warna yang dramatis, namun justru kesederhanaannya malah membuat tampilan komik ini tampak elegan, berkelas, dan klasik. Keunggulan ini yang membuat saya ketika kecil dulu, baru bisa baca, ngotot sekali kepada orang tua saya untuk membelikan komik Tintin, dan setelahnya, ditinggalkan selama bertahun-tahun karena tidak mengerti dengan ceritanya dan saya puas hanya dengan menikmati gambarnya. Herge menunjukkan karakter dan orisinalitasnya dalam gambar yang ia ciptakan sehingga bisa dibilang, ia telah menciptakan jalurnya sendiri, yang tidak tersentuh seniman atau komikus dan kartunis lainnya.
Tintin kini telah berusia 80 tahun lebih dan terbit dalam 24 seri, termasuk seri terakhir, Tintin and Alpha-Art yang tidak sempat diselesaikan oleh sang kreator karena harus memenuhi panggilan Tuhan. Jumlah 24 seri merupakan angka yang sangat kecil bila dibandingkan dengan tokoh-tokoh komik lain yang kebanyakan memiliki seri yang lebih banyak daripada itu, bahkan mencapai ratusan, namun keberhasilan Tintin untuk memberikan kesan di setiap serinya membuat orang-orang seperti tidak bosan-bosannya harus membaca cerita yang itu-itu lagi walaupun saya akui di hati kecil ini sempat ada sedikit penyesalan kenapa Herge tidak menjual hak cipta Tintin ke pihak lain, atau mungkin yang lebih dibuat-buat lagi, mengapa Herge tidak hidup saja selamanya.
Tidak memerlukan waktu lama bagi seseorang, termasuk saya, yang membaca komik Tintin untuk menemukan bahwa komik ini begitu menghibur sekaligus lucu. Ini menjadi alasan kedua saya kenapa saya menyukai Tintin. Humor-humor slapstick dan cerdas yang juga didukung oleh karakter-karakter unik yang melahirkan situasi yang menarik, memancing tawa, dan bahkan menegangkan telah berhasil membius pembaca di segala usia. Entah kenapa saya merasa komedi yang ada di komik Tintin selalu seperti hal yang baru tiap kali membacanya dan tentu saja itu membuat saya selalu tertawa atau bahkan sekedar tersenyum kecil. Tintin sebenarnya menampilkan humor yang ringan namun kelihaian Herge dalam menggarap situasi membuatnya terasa begitu cerdas dan sulit ditebak dan inilah satu lagi keunggulan Tintin yang sulit ditandingi.
Alasan berikutnya kenapa saya menyukai Tintin adalah sajian petualangan yang seru dan luas. Tintin membawa kisah hidupnya dari Kongo samapai ke Peru, dari Cina sampai ke Timur Tengah, dari Tibet sampai ke Bulan, bahkan jauh sebelum Neil Armstrong melakukannya, dan saya sebagai bangsa Indonesia memiliki kehormatan karena di seri Flight 714, Tintin mampir di Jakarta dan Pulau Sumbawa. Pekerjaannya sebagai wartawan yang penuh rasa ingin tahu membuatnya menghadapi berbagai macam kesulitan, intrik, dan peristiwa yang menarik. Ditemani anjing kesayangannya Snowy (dalam versi aslinya: Milo), Captain Haddock yang pemabuk, Prof. Calculus (Prof. Tournesol) yang tuli, serta dua detektif kocak Thomson & Thompson (Dupont & Dupond) yang menambah keasyikan di setiap petualangan, sehingga tak jarang, terutama di masa kecil, saya bermimpi untuk menjadi bagian di komik Tintin dan bercita-cita menjadi seorang wartawan kelak (namun untuk alasan tertentu, saya tidak menyanggupinya, karena ternyata kondisinya berbeda jauh antara di Indonesia dengan yang saya bayangkan). Di balik setiap petualangan Tintin, selalu terdapat pesan-pesan sosial yang kuat terhadap kondisi politik tertentu yang terjadi di dunia, yang telah sempat membuatnya dicekal, dan ini yang membuat Tintin sebagai komik memiliki kekuatan tersendiri bagi kehidupan sosial terutama di Eropa sana.
Dan yang terakhir, kehebatan Tintin adalah gambarnya yang khas. Bagian wajah yang sederhana, dengan hanya menampilkan titik untuk menggambarkan mata, serta paduan warna yang unik membuat saya betah membuka tiap lembaran komik Tintin. Herge tidak menggambar secara detail dan rumit dengan efek warna yang dramatis, namun justru kesederhanaannya malah membuat tampilan komik ini tampak elegan, berkelas, dan klasik. Keunggulan ini yang membuat saya ketika kecil dulu, baru bisa baca, ngotot sekali kepada orang tua saya untuk membelikan komik Tintin, dan setelahnya, ditinggalkan selama bertahun-tahun karena tidak mengerti dengan ceritanya dan saya puas hanya dengan menikmati gambarnya. Herge menunjukkan karakter dan orisinalitasnya dalam gambar yang ia ciptakan sehingga bisa dibilang, ia telah menciptakan jalurnya sendiri, yang tidak tersentuh seniman atau komikus dan kartunis lainnya.
okay, this is my sixth trial to comment on this blog!
BalasHapusi used to read tintin too when i was a child, my mom loves tintin.
i agree with you, i love tintin because he travel around the world! hehehe
but i like thomson and thompson who always make a mess around them. hoho
-astie