"A rat in a maze is free to go anywhere, as long as it stays inside the maze."(The Handmaid's Tale, Margaret Atwood)
Dengan Waktu yang masih terus berjalan sambil
meninggalkan di belakangnya jarak-jarak sejarah sebanyak yang bisa diingat oleh
manusia ―lalu bumi dan karirnya yang monoton dalam mengelilingi matahari selama
jutaan tahun― maka sekarang, tidak ada lagi yang tersisa dari kehidupan ini untuk
dibicarakan karena semuanya sudah pernah dikatakan. Semua hal sudah diucapkan.
Ide-ide besar telah disampaikan, baik dengan
dibisikkan maupun diteriakkan. Diantaranya bicara tentang revolusi, inovasi,
atau ambisi tinggi untuk menaklukkan dunia. Ide-ide hebat telah selesai
diceritakan, tentang penemuan, pencapaian, sampai penjelajahan menuju ruang
angkasa yang tak berbatas. Ide-ide rumit mengenai filosofi, ilmu pengetahuan,
dan Tuhan telah habis disabdakan dari masa ke masa. Ide-ide yang mustahil sudah
pernah diumumkan, tentang masa depan, tentang langit di atas langit, sampai
tentang dunia lain yang akan muncul setelah kematian datang. Pun demikian
dengan ide-ide buruk tentang perang besar, kematian massal, dan kiamat yang akan
meluluh-lantakkan apapun pernah ada, semua itu sudah diumumkan berulang-ulang
kali.
Dan dengan kondisi tersebut, maka apa
lagi yang masih tersedia untuk dibicarakan oleh manusia di peradaban baru ini? Di
tepi zaman di mana semuanya sudah pernah dilakukan dan terjadi, di dalam
koridor kehidupan yang mengarah kepada dinding buntu di mana kata-kata habis
ditelanjangi oleh maknanya sendiri, tidak ada lagi yang bisa dibicarakan di
sini selain tentang kesepian. Kesendirian. Keterasingan yang kita dandani di
atas panggung interaksi.
Kita adalah produk terakhir dari pabrik
peradaban modern dan kita telah dilengkapi dengan sistem autopilot. Kita ―tipe
terbaru dari “kesadaran dalam kemasan”, dengan sensor dan radar untuk mengidentifikasi
makna baru dari eksistensi― hidup dalam takdir versi 2.0 bahwa manusia terlahir
sebagai mahluk terasing, bukan lagi sebagai mahluk sosial. Maka dalam
interaksi, kebutuhan primer kita adalah untuk secara pasif diperhatikan,
disadari, dikomentari, dan kebutuhan untuk dibutuhkan yang kesemuanya dilandasi
atas nama citra. Dan pencitraan, itulah nama dari program di kepala kita yang
membuat kita semua secara otomatis hidup dalam konsep-konsep pemasaran diri.
Manusia telah menjadi subproduk; produk
dari produk yang diciptakan oleh manusia lain dan interaksi kita adalah sebuah
bentuk promosi. Cara kita berinteraksi sekarang ditentukan oleh medium yang
digunakan dan karena itu kita telah terstruktur, terkonstruksi, ter-sintaks oleh
karakteristik dan bentuk dari medium tersebut. Kita teridentifikasikan oleh
media interaksi yang kita pakai untuk berkomunikasi dengan satu sama lain dan
itu sebabnya interaksi lebih menyerupai tindakan mempromosikan media atau
produk yang telah “menciptakan” kita sebagai produknya sendiri. Kita adalah
agennya, staf-nya, salesman untuk
gaya hidup alienasi massal yang telah termodernisasi.
Maka kita bisa bangga tercipta sebagai
mahluk terasing karena kita hidup di waktu yang tepat, saat bumi sudah miliaran
kali berputar dan semuanya sudah pernah dilakukan. Di sini sudah tidak ada lagi
yang bisa dibicarakan selain kenihilan, ketidakbermaknaan, kekosongan. Namun
begitulah kita berbicara sekarang, berkomunikasi, berinteraksi dengan sesama. Kenihilan
adalah sesuatu yang “menjual”, menghibur, ringan, adiktif, menarik untuk
dibicarakan, menyenangkan, menyegarkan, mencerahkan, sebagai bahan bakar utama
dari mesin yang menggerakkan kebutuhan manusiawi kita untuk berinteraksi. Itulah
yang kita punya, sebagai modal dari proyek bisnis besar yang disebut peradaban.
Hanya itu yang bisa kita bagi dan hanya itu yang tersisa sekarang. Yang lainnya
sudah pernah dibicarakan.
Tidak ada lagi ide-ide besar yang
tersisa…
(dan menunggu terasa membosankan).