"I'd imagine the whole world was one big machine. Machines never come with any extra parts, you know. They always come with the exact amount they need. So I figured, if the entire world was one big machine, I couldn't be an extra part. I had to be here for some reason."
(Hugo)
The Artist
Di era film bisu tahun 20-an, George Valentine adalah pusat rotasi dunia. Ia tersenyum tanpa henti di atas panggung di bawah lampu sorot sementara ribuan pasang mata bertepuk tangan. Dialah bintang utama di setiap bioskop, lampu blitz selalu terarah padanya. Sampai kemudian, ia bertemu dengan seorang figuran debutan, Peppy Miller. Dengan spidol, George membuat sebuah titik tahi lalat di atas bibir Peppy sambil menasihati bahwa untuk menjadi artis, seseorang harus memiliki apa yang tidak dimiliki orang lain. Dari situ keadaan berbalik, George terpuruk sementara Peppy meraih bintang ketenaran.
Tapi ini bukan semata-mata karena tahi lalat, ini adalah kisah tentang pergantian musim di negeri Hollywood saat kemajuan teknologi telah memungkinkan sebuah film untuk merekam suara. Silent movie ditinggalkan penonton, George ditinggalkan popularitas, lambat laun yang tersisa hanyalah dirinya, kenangan, dan si anjing peliharaan yang setia (Uggy, penampilannya di film ini melebihi akting Lassie). Film bersuara yang awalnya dia tertawakan kini balik menertawakan George yang mendekap roll filmnya di balik asap hitam. Dia tidak mampu melawan roda dunia sendirian sebelum ia mampu meruntuhkan selimut egonya. Dia menjadi contoh kehidupan pelaku dunia showbiz yang selalu rentan tergerus waktu lewat derita post-power syndrome. Bagaimanapun juga dia harus bisa menerima bahwa publik menginginkan hal yang baru dan publik tak pernah salah.
Walau dibuat dalam format hitam-putih dan tanpa suara dialog, sutradara Michel Hazanavicius masih tetap bisa mengeksplorasi sisi kreativitasnya ke dalam scene-scene yang ekspresif. Jean Dujardin sukses memerankan tokoh utama lewat permainan gestur dan mimik yang memikat. Sebuah persepsi baru harus dibangun, bahwa penggunaan metode lama bukanlah sesuatu yang ketinggalan zaman, tapi keberadaannya justru memberikan banyak pilihan dalam berkreasi di tengah keseragaman dan klise yang mewarnai dunia modern sekarang. Less is more, monochrome is color.
The Descendants
Matt King mungkin saja memahami hidup sebagai rentetan dari awkward moments yang kerap muncul kapanpun dan dimanapun, entah siap atau tidak. Dia seorang lelaki paruh baya yang tinggal di Hawaii, terlibat dalam bisnis keluarga mengenai tanah warisan leluhur, punya dua anak perempuan usia 17 dan 10 tahun yang butuh pantauan non-stop, istrinya terbaring koma di rumah sakit karena kecelakaan di laut dan tentu saja ia punya seorang mertua yang selalu menyalahkannya atas nasib sang istri. Semuanya tampak baik-baik saja sampai putri sulungnya memberitahu bahwa selama ini ia telah diselingkuhi sementara dokter rumah sakit menyampaikan kabar bahwa istrinya takkan bisa selamat.
Film ini bercerita banyak tentang keutuhan sebuah keluarga dengan Matt sebagai tokoh sentralnya. Ia adalah sosok ayah yang canggung saat berhadapan dengan kedua putrinya karena selama ini kedua anaknya itu diurus oleh istrinya. Ia harus berurusan dengan anak pertamanya yang sedang dalam fase pubertas remaja yang bergejolak (diperankan secara memikat oleh pendatang baru Shailene Woodley) sedangkan putri bungsunya tidak bisa menjaga mulut dari kata-kata kasar. Selain itu proses bisnis yang berlangsung dengan para sepupu dari keluarga besarnya pun berjalan alot. Belum lagi perasaan sakit hatinya terhadap sang istri, yang ibaratnya menghakimi seorang kriminal lumpuh dan mau tak mau dosanya harus dimaafkan ("Goodbye my love, my friend, my pain, my joy").
Dikemas secara ringan sekaligus witty oleh sutradara Alexander Payne (Sideways, About Schmidt), film ini melebur dilema dan kekonyolan jadi satu dalam tiap frame. Matt dan keluarganya pergi menelusuri Hawaii demi mencari selingkuhan istrinya itu namun dengan maksud hanya untuk memberi kabar bahwa istrinya akan meninggal dunia, tanpa emosi ataupun bak-bik-buk karena bagi Matt semuanya sudah terlambat. Petualangan kecil keluarga kecil Matt ini mampu membuahkan kesan tersendiri yang walaupun bukan kisah liburan yang menarik untuk ditulis pada tugas mengarang, namun cukup manis untuk dikenang sendiri. Semanis Matt dan dua putrinya yang akhirnya duduk di atas sofa dengan mangkuk es krim di depan TV dan mereka berbagi satu selimut bersama-sama.
The Girl with the Dragon Tattoo
Dalam banyak hal di film ini (juga bukunya), Lisbeth Salander adalah simbol pop culture bagi isu kekerasan terhadap perempuan di manapun yang mewakili korbannya maupun sebagai tokoh perlawanannya. Dua peran tersebut tercermin pada karakternya yang unik: biseksual, asosial, kurus kering, pucat pasi, tindikan, dingin, hacker, ingatan fotografis, cerdas, yatim piatu, dipelihara negara, dilecehkan secara seksual, mencintai laptopnya, membenci ayah asuh barunya dan dalam salah satu scene yang cukup mengganggu, ia secara paksa mentato perut ayah asuhnya itu yang diikat di kamarnya dengan desain tato terburuk yang berbunyi I am A Rapist Pig. Maka ketika Mikael Blomkvist, seorang wartawan, laki-laki, memintanya untuk menjadi asistennya dalam memecahkan sebuah kasus kriminal, tidak ada tawaran yang lebih baik lagi selain kesempatan untuk meringkus pelaku pembunuhan perempuan berantai.
Lisbeth adalah seorang perempuan dengan 'perisai' di sekujur tubuhnya yang tidak percaya dengan konsep kecantikan dan menggantinya dengan sikap punk. Ia tidak ragu untuk mendeklarasikan dirinya sebagai orang sakit jiwa. Ia kehilangan segala emosinya dan memahami hidup dalam dua keadaan, rasa sakit dan segala hal yang bisa dilakukan untuk mengalihkannya. Opening credit film ini mempersembahkan dengan secara imajinatif sinopsis isi dunia Lisbeth yang hitam, kacau balau, tar, goth, dan di satu titik, meledak. Semuanya terjadi di dalam film, menghanyutkan penonton dalam gelombang disfungsional. Lalu ketika di ujung film Lisbeth yang sedang bermain catur dengan mantan ayah asuhnya yang terkena stroke, mengadu: "I'm different now. I've made a friend," maka penonton akhirnya mampu mengidentifikasi sebuah benang merah dalam kodrat tiap manusia, yang normal maupun tidak, tentang kebutuhan eksistensial sebagai mahluk sosial. Walaupun hanya sebentar ditunjukkan, namun di situlah momen Lisbeth yang membuat penonton melepaskan hembusan lega setelah di sepanjang film tingkah-lakunya memaksa mereka untuk menahan napas.
David Fincher kembali lagi dengan tone suram ala Se7en dengan tambahan adegan kekerasan seksual yang menyakitkan. Alunan scoring dari Trent Reznor dan Atticus Ross mewarnai film dalam gradasi dark meets cold. Rooney Mara memerankan karakter Lisbeth dalam totalitas tinggi lewat setiap "siksaan" fisik yang harus ia jalani sendiri untuk film ini. Ia menampilkan sebuah performance art yang berhasil mempersonifikasikan tokoh rekaan Stieg Larsson itu menjadi sesuatu yang ikonik. She's an instant classic with elegant edgyness that grabs my attention.
Oh ya, film ini bercerita tentang pencarian seorang putri dari keluarga kaya yang dilakukan oleh dua orang di mana salah satu di antara mereka adalah James Bond.
Hugo
Trailer film ini menimbulkan pertanyaan, benarkah ini disutradarai oleh orang yang membuat Raging Bull? Bukan meremehkan, tapi film keluarga dengan tokoh utama anak kecil yang kejar-kejaran di stasiun kereta api dalam 3D dan... Martin Scorsese? Hugo seorang yatim piatu yang bekerja untuk mengatur dan merawat mesin mekanis jam-jam di sebuah stasiun, memenuhi kesehariannya dengan mencuri roti dan mencari alat yang bisa menggerakkan automaton pemberian ayahnya. Lalu ia bertemu seorang gadis cilik yang mengenakan kalung khusus yang mampu mengoperasikan alat tersebut. Dan automaton itu pun bekerja, menggambar sesuatu di atas kertas kosong, gambar bulan berwajah manusia yang salah satu matanya tertusuk roket. "Les Voyage Dans La Lune", A Trip to the Moon! Georges Melies! Scene dari film sci-fi pertama di dunia! Maka Hugo berubah plotnya menjadi sebuah film tentang film! Dan ya, ini memang cocok sebagai filmnya Scorsese. Nostalgianya.
Ber-setting di Paris era 30-an, Hugo dan teman gadisnya bertualang menelusuri jejak-jejak perjalanan sinema di dunia yang kemudian mempertemukannya dengan sosok Melies, sang legenda yang menjalani kehidupan baru di mana dirinya berusaha meninggalkan masa lalunya, ratusan filmnya, studionya yang megah, dan popularitasnya. Kariernya berakhir karena perang dunia, bahkan orang-orang menyangkanya sudah tewas di medan perang. Melies hidup menjalani masa tua dalam bayang-bayang semu dan Hugo datang kepadanya sebagai sebuah sosok besar yang menakutkan, menghantui dan innocent, seperti mimpi dan harapan yang menghinggapi Melies dulu ketika masih menjadi seorang pesulap dan mendatangi pertunjukan film Lumiere bersaudara. "If you've ever wondered where your dreams come from, you look around... this is where they're made," ia menyatakan cintanya terhadap film dan ketidakbahagiaan menjadi resiko yang harus ia tanggung di kemudian hari karena pengabaian terhadap cintanya itu.
Hugo yang kecil dengan mata yang berbinar saat menyaksikan film adalah mata Scorsese dalam mengenang titik awal karier penyutradaraannya yang panjang dan inspiratif. Diangkat dari sebuh novel grafis The Invention of Hugo Cabret karya Brian Selznick, cerita ini bukan hanya berpusat tentang film tapi juga sebuah ode bagi Georges Melies sebagai figur yang mewakili mimpi-mimpi manusia yang di suatu waktu telah berhasil melewati garis-garis batas kemustahilan. Juga cerita tentang kerja keras dan hasrat manusia sebagai dua kekuatan dalam membangun dan mewujudkan impian. Hugo berhasil menunjukkan bahwa pada akhirnya cinta pertama akan selalu ada dan takkan pernah bisa dilupakan, segigih apapun usahanya.
Once Upon A Time in Anatolia
Sekelompok pria berkendara di malam yang gelap dan berangin di kawasan daratan Anatolia untuk mencari mayat korban pembunuhan yang terkubur di suatu tempat. Orang-orang ini adalah polisi, jaksa, dokter, tentara, tukang gali, dan dua orang tersangka kasus kriminal tersebut yang sialnya, lupa di mana persisnya tempat mereka menguburkan mayatnya sehingga malam itu menjadi malam yang dilewati dengan panjang dan melelahkan oleh mereka semua. Dan sepanjang malam itu pula masing-masing berhadapan dengan rahasia kecilnya.
Film ini tergolong agak kompleks untuk dicerna, layaknya film khas festival, terutama untuk menunjukkan siapa yang menjadi tokoh utama di dalam film karena setiap tokoh bergantian mendominasi tiap scene yang ada. Banyaknya misteri, termasuk plot yang tidak serta-merta didiktekan kepada penonton, menggiring cerita kepada kebenaran yang menganga di akhir dengan rahasia-rahasia atau kebohongan-kebohongan yang terungkap. Pun pengungkapan itu pun sebenarnya bukan sesuatu yang dahsyat layaknya sebuah thriller pada umumnya namun terasa cukup 'bersahaja' untuk menunjukkan keragaman kehidupan yang dijalani manusia.
Nuri Bilge Ceylan, sutradara kenamaan Turki, memamerkan tidak hanya kemampuannya yang tinggi dalam sinematografi tapi juga teknik pengambilan gambarnya yang menarik. Ia membuat film ini sebagai sebuah antitesis terhadap klise Hollywood yang terlalu lepas memaparkan semua jawaban dalam film seperti menyuapkan pil kepada penonton. Ia lebih menekankan kepada fungsi sinema sebagai medium dari kehidupan nyata yang penuh dengan hal-hal tak terungkap, bukan malah sebagai alat untuk membohongi penonton dengan klise irasional. Tapi bukan berarti Nuri sepenuhnya bersikap ortodoks karena di tengah kesunyian malam di desa terpencil di mana rombongan itu beristirahat, para laki-laki ini tiba-tiba dibangunkan oleh seorang gadis desa cantik dengan iringan cahaya lilin yang memberi mereka air minum. Gadis cantik di sebuah desa terpencil di ujung malam yang melelahkan, walau muncul sebentar namun momen seperti itu adalah mukjizat dalam keseharian hidup manusia biasa.
Take Shelter
Badai akan segera datang, Curtis mendapati pertanda tersebut lewat rangkaian mimpi buruk yang menghinggapinya serta penampakan kawanan burung yang terbang tak beraturan di langit. Ia merasakan ada sesuatu yang aneh, namun pertanyaannya, di peradaban modern sekarang apakah yang dialami Curtis merupakan semacam ramalan prophetic mengenai bencana besar ataukah sebuah gejala awal dari paranoid schizophrenia? Apakah ia harus melindungi keluarganya dari bencana itu atau malah dari dirinya sendiri?
Pertanyaan tersebut berusaha dijawab oleh Curtis di sepanjang film dengan mengorbankan banyak hal dalam hidupnya yang bersahaja dari mulai hubungan dengan istrinya, kesehatan anaknya yang tunawicara, persahabatan dengan partnernya, pekerjaannya, sampai anjing kesayangannya. Mimpi buruknya yang semakin intens berefek langsung pada sesak napas, muntah darah, dan bahkan membuat mengompol tidak lagi dipersepsikan sebagai tindakan memalukan tetapi justru mengerikan. Dan seakan sedikit meminjam pengalaman Nuh di zaman dulu, Curtis membangun sebuah tornado shelter bawah tanah di pekarangan rumahnya untuk melindungi keluarganya dari badai besar sementara para tetangga dan kerabatnya mulai menganggapnya kehilangan akal.
Penampilan Curtis bisa jadi adalah pencapaian terbaik Michael Shannon sebagai aktor sampai saat ini. Diperankan dengan ekspresi dingin khasnya yang dipadu dengan kegelisahan psikologis membuat kompleksitas karakter ini pantas diberi perhatian lebih oleh penonton. Di awal film, sahabat Curtis sempat berkata bahwa Curtis dan keluarganya memiliki kehidupan yang baik dan menurutnya "I think that's the best compliment you can give a man: take a look at his life and say, 'That's good'". Tapi kita tidak bisa mengatakan bahwa hidup seseorang itu bahagia sebelum orang itu mati, karena hidup masih akan terus bergulir.
Young Adult
Mavis Gray, perempuan usia 30-an, penulis novel remaja (chicklit), alkoholik, tinggal di kota besar ditemani anjing peliharaannya, menjalani hidup secara normal seperti blind date yang berujung di atas kasur dan selalu bangun tidur dengan TV yang masih menyala. Tapi kemudian kehidupan normalnya itu terusik oleh kiriman e-mail foto bayi mantan pacarnya, Buddy, yang baru saja lahir ke dunia. Maka secara impulsif ia terdorong untuk pulang ke kampung halamannya, menghirup kembali aroma kejayaan SMA-nya sebagai gadis pirang populer, mengenang masa-masa pacarannya bersama Buddy, dan ia kini menginginkan Buddy untuk kembali ke pelukannya. Secara khusus, ia mengemban tugas suci yaitu menyelamatkan Buddy dari rutinitas fatherhood yang ia anggap telah merubah mantannya itu menjadi zombie. Well, setidaknya itu yang Mavis kira.
Tapi apa yang tidak dimegerti oleh Mavis adalah setiap orang, kecuali dirinya, tumbuh semakin dewasa, menikah, menjalani komitmen, berkeluarga, sedikit meninggalkan alkohol, berada di rumah sebelum tengah malam, mengurus rumah tangga, dan seringkali terganggu tidurnya untuk mengganti popok. Segala hal tersebut sedikit-banyak merusak atmosfer nostalgianya terhadap sosok Buddy. Mavis terjebak dalam pemikirannya sendiri dan celakanya, ia mencoba melibatkan Buddy yang telah menjadi seorang ayah untuk masuk ke dalam lifestyle-nya. Secara sepihak ia menyimpulkan bahwa Buddy perlu dibebaskan dan ia merasa harus merebut eks-nya itu dari istri sahnya. Maka, semuanya hanya tinggal menunggu waktu bagi Mavis untuk bisa melihat siapa dirinya dari balik cermin bernama society, bahwa hidup yang menurutnya ia jalani tanpa belenggu ternyata hanyalah sebuah gaya yang lahir dari ketidakmampuannya memikul tanggung jawab.
Kolaborasi kedua sutradara Jason Reitman dan scriptwriter Diablo Cody setelah Juno ini kembali berhasil mengawinkan gaya penceritaan yang terasa "meringankan" tema eksistensial yang berat dengan dialog-dialog yang cerdas dan lucu. Cody sangat piawai menempelkan line yang mewakili kepribadian tiap tokoh yang ada di film sehingga mereka bisa menjadi karakter yang kuat. Selain itu, caranya menampilkan twist kecil dalam beberapa percakapan juga patut diacungi jempol, seperti di bagian akhir film saat Mavis yang depresi dan terpuruk ngobrol berduaan dengan kakak perempuan temannya yang kemudian bisa dengan cepat mengembalikan karakter bitchy blonde Mavis seperti sediakala dan itu menjadikan cerita di film ini terkesan lebih real. Karena pada akhirnya, seperti yang pernah dikemukakan oleh Leo Tolstoy, "Tak seorang pun yang puas dengan miliknya, tapi tiap orang puas dengan otaknya."