"What matters in life is not what happens to you but what you remember and how you remember it."(Gabriel Garcia Marquez)
Gabriel Garcia Marquez meninggal 3 hari yang lalu. Dia seorang penulis fiksi.
Apa saya menangis dengan kabar itu? Tidak. Saya tidak kenal dia, dia tidak kenal saya, saya tidak pernah ketemu dia, dia tidak pernah ketemu saya, apalagi datang ke rumahnya, apalagi dia datang ke rumah saya.
Lagipula saya sedang ke luar kota saat itu, lebih tepatnya, saya sedang terjebak macet di suatu kota, artinya saat membaca kabar kematian beliau mood saya sedang bosan dan kesal setengah mati.
Tapi Gabriel Garcia Marquez telah meninggal, dan saya tahu itu pasti akan berkaitan dengan bagian dalam diri saya secara pribadi.
Itulah kenapa sepulangnya saya ke rumah saya buka salah satu bukunya, versi terjemahan bahasa Indonesia, dan saya lihat keterangannya: Cetakan I -- saya pastikan tahun keluarnya: 2007.
Jadi, 2007.
2007. 2007 adalah 7 tahun yang lalu.
Gramedia Bandung tidak banyak berubah 7 tahun berselang. Atau mungkin juga iya.
Saya bolos kuliah di satu hari di tahun 2007 dan pergi ke Gramedia. Tujuannya? Mencari sesuatu yang lebih menarik daripada isi ruang kuliah. Sesuatu yang lebih hebat daripada sekedar mencatat. Sesuatu yang bisa saya beli dengan harga di bawah 50000 rupiah.
Saya ingin baca buku. Ya -- membaca. Bukan hobi baru buat saya.
Begitu juga dengan buku. Sangat familiar buat saya. Tapi yang baru saat itu adalah motif saya: Saya ingin membaca novel. Fiksi. Apapun yang bisa saya temukan di toko buku.
Sebelumnya saya hanya membaca nonfiksi. Saya terlalu skeptis untuk novel.
Sebelum tahun 2007 itu setiap saya mendengar kata 'novel', saya selalu mengernyit, terkekeh, dan merasa terlalu 'pintar' untuk itu.
Jangan salahkan saya. Saya berada di lingkungan yang entah bagaimana orang-orang mengasosiasikan novel dengan cerita romansa. Cinta-cintaan, Romeo & Juliet, dramatisasi tentang hubungan, cinta sana-cinta sini. Semuanya menye-menye.
Itulah masa-masanya teenlit. Masa-masanya chicklit. Dan saya tidak suka banyak orang.
Memang saat itu ada juga Harry Potter, tapi filmnya buruk, jadi...
(Jadi saya berencana untuk membaca Harry Potter hanya pada saat saya sudah tua nanti. Itu adalah pujian. Saat saya tua nanti pikiran saya mungkin akan tumpul dan saya butuh bacaan yang imajinatif)
Tapi kemudian saya penasaran ingin membaca cerita fiksi. Saya lupa apa yang menyulut rasa tersebut. Saya lupa apa memang ada sesuatu hal yang menyulut penasaran tersebut atau tidak ada sama sekali.
Dan... di situ lah Gabriel Garcia Marquez. Di Gramedia.
New Release.
Judulnya "Seratus Tahun Kesunyian". Di cover depan-nya tertulis kalau Gabriel Garcia Marquez ini adalah pemenang nobel. Di cover belakang-nya tidak banyak penjelasan. Sinopsisnya hanya ada 2 kalimat. Lalu di paragraf yang lain si penerbit menjelaskan: Anda keluar dari novel ini seperti bangun dari mimpi dengan pikiran puncak... di mana Garcia Marquez naik ke atas panggung bersama Gunter Grass dan Vladimir Nabokov.
Saya tidak paham apa maksudnya --Gunter Grass? Vladimir Nabokov? Siapa?-- saya tidak kenal nama-nama itu. Tapi saya tertarik. Kenapa saya tertarik? Mungkin karena kemisteriusan dari tampilan buku itu. Mistisnya.
Mungkin karena ketebalannya yang cukup menantang waktu itu. Mungkin karena gambar sebuah desa mengapung di sampul depannya (sebuah tempat fiktif yang diberi nama Macondo). Mungkin 'keasingannya' yang menjanjikan saya sebuah 'dunia baru' untuk dimasuki.
Maka saya ambil buku itu dan membelinya. Harganya di atas 50000 rupiah.
Lalu, terjadilah Gabriel Garcia Marquez dalam hidup saya.
Mungkin sebetulnya saya harus berterima kasih kepada si penerbit yang menerbitkan buku itu di saat saya sedang ingin membaca fiksi. Mungkin.
Tapi kalau saat itu saya tidak mengambil "Seratus Tahun Kesunyian" dari Gabriel Garcia Marquez, tapi mengambil buku novel yang lain, mungkin saya baru mengenal beliau sekarang, bukan di tahun 2007, atau justru baru 5 tahun yang akan datang, 7 tahun ke depan, 10 tahun ke depan, 4 Piala Dunia ke depan, dll.
Atau mungkin --dan ini bukan hanya sebuah kemungkinan biasa-- saya tidak akan pernah membaca fiksi.
Gabriel Garcia Marquez menulis cerita yang surealis, imajinatif, yang membuat saya percaya bahwa fiksi bisa dibawa ke tingkat yang lebih tinggi lagi, lebih luas lagi, lebih dalam lagi, lebih-lebih-lebih dari orang-orang yang saya temui setiap hari.
Itu sangat luar biasa!
Dia yang memulai gaya magis-realisme. Dengan paragraf-paragraf panjang dan minim dialog yang jauh dari membosankan tapi terus memancing saya untuk terus baca, baca, baca.
Dia yang memulai saya menjelajahi dunia yang baru. Bertemu Gunter Grass, Vladimir Nabokov, Salman Rushdie, William Faulkner, Ernest Hemingway, J.D. Salinger, Virginia Woolf. Fyodor Dostoyevsky, Haruki Murakami, Jack Kerouac, George Orwell, Kurt Vonnegut, Maragaret Atwood, Victor Hugo, dan nama-nama asing lainnya.
(Saya menyalahkan dia untuk obsesi saya mengumpulkan buku-buku yang termasuk dalam daftar TIMES' 100 Best Novels)
Dia yang memulai saya untuk terus baca, baca, baca, baca, baca, baca, baca, baca, baca, baca, baca....
Sekarang, saat dia sudah tidak lagi hidup, saya hanya bisa mengenangnya dengan memikirkan 'bagaimana kalau seandainya bukan Gabriel Garcia Marquez di tahun 2007 itu?'
Atau lebih luas lagi, 'bagaimana kalau seandainya tidak ada Gabriel Garcia Marquez? Seperti apa dunia fiksi? Kapan Harry Potter akan terbit? 7 tahun ke depan? 10 tahun ke depan? 4 Piala Dunia ke depan? Apa yang akan saya baca saat tua nanti?'
Karya-karya Gabriel Garcia Marquez akan tetap abadi. Ada banyak orang di luar sana yang 'takdir literaturnya' ditentukan oleh Gabriel Garcia Marquez seperti saya.
Memang nama Gabriel Garcia Marquez tidak terlalu populer di Indonesia, tapi suatu saat nanti siapa tahu. Mungkin namanya terlalu panjang untuk disebutkan. Tapi kalau itu yang menjadi masalah, kita bisa memanggil Gabriel Garcia Marquez dengan nama Gabo.
Gabo.
Ya.Gabo.
Terima kasih, Gabo.
Anda bisa berhenti menulis sekarang.